LATAR BELAKANG
Fenomena kekerasan seksual dalam dunia pendidikan terutama di lingkup perguruan tinggi bukanlah hal baru. Mirisnya, saat ini kasus kekerasan seksual di kampus kian marak terjadi. Misalnya saja kasus yang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan, yakni  pelecehan seksual yang terjadi di Universitas Gunadarma. Pelecehan tersebut dilakukan oleh seorang mahasiswa baru kepada salah satu mahasiswi. Keduanya mengaku saling mengenal karena korban menganggap pelaku sebagai teman. Kasus ini ramai menjadi sorotan publik karena berujung pada aksi persekusi dan main hakim sendiri yang dilakukan mahasiswa lainnya terhadap pelaku.
Dari kasus tersebut, jelas bahwa pelecehan seksual tidak dapat diduga kapan, dimana, dan siapa pelakunya. Pada dasarnya, pelecehan yang terjadi merupakan masalah sebagai akibat dari hubungan sosial antar anggota masyarakat. Dalam lingkungan akademik seperti kampus, tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan sosial memang ada diantara mahasiswa atau antara mahasiswa dengan pihak lain seperti dosen.
Adapun studi awal tentang kekerasan seksual di lingkungan akademik  pernah dilakukan oleh Benson, D.J., Thompson (1982), dan Cammaert (1985) dimana mereka mengungkapkan adanya kasus kekerasan seksual antara dosen dan mahasiswa. Berbeda dengan kasus kekerasan seksual di tempat kerja, hal ini jauh lebih serius karena melibatkan hubungan antara dosen dan mahasiswa yang mempunyai ketimpangan relasi kuasa dan didasarkan atas perbedaan usia dan faktor moralitas berupa kepercayaan dan penghormatan terhadap dosen.
Selain faktor-faktor tersebut, kekerasan seksual, baik secara fisik maupun tidak, sering  terjadi karena minimnya pengetahuan dan pemahaman korban akan makna maupun berbagai bentuk tindakan kekerasan seksual.
Kekerasan seksual merupakan setiap perbuatan yang menyebabkan atau dapat menimbulkan rasa sakit secara psikis atau non-psikis, seperti terganggunya kesehatan reproduksi, dengan cara merendahkan, mengina, melecehkan tubuh atau alat vital seseorang. Kekerasan seksual juga dapat didefinisikan sebagai perilaku ofensif berupa rayuan seksual yang tidak diinginkan dalam konteks hubungan dengan kekuasaan yang tidak seimbang.
Berdasarkan jenisnya, kekerasan seksual dapat berbentuk verbal, fisik, non-fisik, atau bahkan  dengan penggunaan teknologi. Sexting merupakan salah satu contoh kekerasan seksual dengan menggunakan teknologi digital. Â
FENOMENA SEXTING
Kata sexting mungkin saja relatif baru atau asing di telinga beberapa orang. Sexting adalah kegiatan membagikan foto atau gambar, video, dan pesan yang mengandung unsur seksual melalui perangkat teknologi. Dalam arti luas, sexting adalah pertukaran konten eksplisit berkonotasi seksual dengan menggunakan teknologi. Ada dua bentuk aktivitas sexting, yakni secara tertulis (verbal) dan tidak tertulis. Pesan tertulis biasanya berupa frasa atau kalimat seksual mengarah pada sesuatu yang bersifat merayu, menggoda, bahkan tak senonoh. Sedangkan pesan non-verbal biasanya berbentuk foto, video, dan lain-lain yang juga berkonotasi seksual.Â
Sexting mempunyai makna yang bervariasi, tergantung pada jenisnya (primer dan sekunder). Dua orang atau lebih yang saling melakukan sexting secara pribadi dan tidak membagikannya kepada orang lain disebut sebagai primary sexting (sexting primer). Sementara dalam secondary sexting (sexting sekunder), sexting dilakukan secara sepihak tanpa adanya consent. Selain itu, pihak yang melakukan sexting sekunder juga meneruskan atau menyebarkan pesannya kepada pihak luar.
Bersadarkan kedua jenis sexting tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sexting primer bersifat konsensual, dimana kedua belah pihak yang melakukan sexting sepakat untuk melakukannya atas consent satu sama lain. Tetapi kebalikannya, sexting sekunder cenderung non-konsensual. Hal ini dapat memicu dampak yang lebih besar, salah satunya menyebabkan terjadinya kekerasan seksual melalui platform online.