Mohon tunggu...
Choirunnisa
Choirunnisa Mohon Tunggu... Lainnya - mengurus rumah tangga

Thinking extrovert

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Budaya Lembur, Apakah Kita Terjebak dalam Persepsi yang Salah?

15 Oktober 2024   10:40 Diperbarui: 16 Oktober 2024   12:04 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kerja lembur. Foto: freepik.com/freepik

Bagi banyak orang, bekerja lembur sering kali diartikan sebagai upaya ekstra yang menunjukkan komitmen terhadap pekerjaan. 

Kita mungkin pernah mendengar rekan kerja yang dengan bangga menceritakan berapa banyak jam yang mereka habiskan di kantor setelah jam kerja. 

Dalam konteks ini, lembur seolah menjadi simbol status, menandakan bahwa seseorang adalah "pekerja keras."

Budaya lembur telah menjadi bagian dari kehidupan profesional di banyak perusahaan, terutama di era persaingan bisnis yang semakin ketat. 

Namun, apakah kita terjebak dalam persepsi yang salah tentang budaya lembur ini?

Memahami persepsi lembur

Persepsi positif terhadap lembur sering kali muncul dari norma sosial dan harapan di tempat kerja. 

Di banyak perusahaan, lembur dianggap sebagai indikator kinerja yang baik. Karyawan yang sering lembur bisa dilihat sebagai pekerja keras yang berdedikasi, sementara mereka yang pulang tepat waktu mungkin dianggap kurang ambisius. 

Namun, lembur terkadang bukan hanya hasil dari tuntutan perusahaan, tetapi juga merupakan keinginan karyawan itu sendiri. 

Karyawan sering merasa harus lembur untuk menyelesaikan tugas yang sebenarnya bisa dikelola dalam jam kerja yang ditetapkan.

Dalam banyak kasus, lembur justru mencerminkan ketidakmampuan karyawan untuk menyelesaikan tugasnya dalam waktu yang diberikan. 

Alih-alih menjadi indikator kerja keras, lembur dapat menunjukkan manajemen waktu yang kurang baik atau beban kerja yang tidak terkelola. 

Menurut studi oleh Harvard Business Review, 65% pekerja merasa tertekan untuk lembur, bukan karena tuntutan atasan, tetapi karena rasa bersalah atau rasa takut akan penilaian dari rekan kerja.

Dampak lingkungan kerja yang tidak sehat

Lingkungan kerja yang dipenuhi dengan harapan untuk lembur dapat menciptakan budaya yang tidak sehat. 

Ketika lembur menjadi budaya, karyawan mungkin merasa tertekan untuk terus bekerja melebihi jam kerja yang ditetapkan, bahkan jika pekerjaan tersebut tidak mendesak. Hal ini dapat mengakibatkan burnout, penurunan kreativitas, dan masalah kesehatan lainnya.

Lebih jauh lagi, lembur tidak hanya memengaruhi karyawan secara individu, tetapi juga meningkatkan biaya operasional perusahaan. 

Ketika karyawan bekerja lembur, fasilitas seperti lampu dan pendingin ruangan (AC) sering kali tetap menyala, meskipun seharusnya sudah dimatikan setelah jam kerja berakhir. 

Hal ini tidak hanya menyebabkan peningkatan biaya listrik, tetapi juga berkontribusi pada dampak lingkungan yang lebih besar. 

Sebuah laporan dari McKinsey menunjukkan bahwa perusahaan dapat menghemat hingga 10% dari biaya operasional dengan menerapkan kebijakan yang mendorong efisiensi penggunaan energi.

Mengubah budaya lembur

Perusahaan memiliki peran penting dalam mengubah persepsi tentang lembur. Mereka dapat mempromosikan budaya kerja yang lebih seimbang dengan menetapkan batasan yang jelas tentang waktu kerja. 

Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil oleh perusahaan:

1. Mengkomunikasikan nilai work life balance: Perusahaan harus secara aktif mengkomunikasikan pentingnya keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi kepada karyawan. Ini bisa dilakukan melalui pelatihan dan sosialisasi tentang manajemen waktu dan teknik relaksasi.

2. Menerapkan kebijakan fleksibel: Memperkenalkan kebijakan kerja yang fleksibel, seperti jam kerja yang dapat disesuaikan atau opsi kerja dari rumah, dapat membantu karyawan merasa lebih nyaman dalam mengatur waktu mereka.

3. Menghargai pekerjaan yang selesai dengan baik: Alih-alih mengapresiasi lembur sebagai prestasi, perusahaan harus memberikan penghargaan untuk pencapaian yang dihasilkan dalam jam kerja yang wajar. Ini dapat mendorong karyawan untuk lebih efisien dan produktif dalam waktu yang lebih terbatas.

4. Mendorong kegiatan sosial dan rekreasi: Mengadakan kegiatan sosial yang melibatkan seluruh tim dapat membantu menciptakan ikatan antar karyawan dan mengurangi stres, tanpa perlu bergantung pada lembur.

Budaya lembur sering kali dianggap sebagai tanda dedikasi dan kerja keras. Namun, kita harus menyadari bahwa persepsi ini dapat menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat dan merugikan. 

Dengan mengubah cara kita melihat lembur dan mendorong budaya kerja yang lebih seimbang, perusahaan tidak hanya akan meningkatkan kesejahteraan karyawan, tetapi juga produktivitas jangka panjang. 

Selain itu, dengan mengurangi lembur, perusahaan dapat menekan biaya operasional dan dampak lingkungan, sekaligus menciptakan suasana kerja yang lebih positif. 

Pada akhirnya, menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan mendukung keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi adalah langkah penting menuju kesuksesan bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun