Hidup sederhana aja
Jangan kebanyakan gaya
(Potongan lirik lagu Armada yang berjudul "Halu Bos")Â
Rasanya lirik tersebut tepat untuk menjadi nasihat Masyarakat saat ini. Gempuran dunia fast fashion yang mendorong Masyarakat menjadi konsumtif akan pembelian pakaian demi sebuah popularitas di dunia sosial media. Ya, hari ini Masyarakat kita disajikan bermacam-macam gaya pakaian yang ditampilkan di media sosial/televisi oleh pablik figur dan para konten kreator.
Ya malapetaka itu dimulai dari sana, banyaknya orang yang ingin tampil, keinginan untuk diakui bahwa dirinya lebih fashionable dari orang lain, Â lalu menjadi persaingan yang tidak disadari. Momentum ini dimanfaatkan oleh industri pakaian dengan mengusung konsep fast fashion demi memenuhi "nafsu" tersebut. Bahkan sebagian orang rela membeli "pakaian bekas" untuk terlihat trendy.Â
Pembelian pakaian secara masif, dan terus menerus berakibat berakhirnya pakaian tersebut di tempat pembuangan akhir sampah. Dikutip dari Fibre2Fashion, pada tahun 2020, sekitar 18,6 juta ton limbah tekstil dibuang di tempat pembuangan akhir. Selain itu, rata-rata Masyarakat juga membuang 60% pakaiannya, setahun setelah membeli. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2021 melalui SIPSN mengungkapkan, Indonesia menghasilkan 2,3 juta ton limbah pakaian atau setara dengan 12% dari limbah rumah tangga. Dari keseluruhan limbah pakaian tersebut, hanya 0,3 juta ton limbah pakaian yang didaur ulang.
Saat ini memang sudah ada beberapa brand lokal yang mengusung konsep sustainable, seperti sejauh mata memandang, SARE/Studio, Sukkha Citta, Pijak Bumi, Imaji Studio, LANIVATTI, osem, Rupahaus, dan beberapa brand lainnya. Tetapi kenyataannya adalah apakah Masyarakat lebih banyak membeli brand yang mengusung konsep sustainable atau brand pakaian yang tidak mengusung konsep sustainable yang dengan mudah dicari di e-commerce dengan harga murah meriah banyak lagi?Â
Indonesia juga tidak kurang dengan organisasi dan brand pakaian yang mendaur ulang sampah pakaian, diantaranya: Eco touch, W.F.T, Pendekar Baju, Pable Indonesia, Upcycle.indonesia, mungkin ada lagi yang Saya tidak sebutkan. Tetapi dari sekian banyak organisasi daur ulang tersebut, lebih banyak mana Masyarakat yang memilih untuk membuang sampah pakaian bekasnya ke tempat tempat daur ulang atau memilih membuang sampah pakaiannya ke tong sampah di rumahnya?Anda tahu jawabannya karena memang negara kita masih belum punya aturan untuk hal ini, dan hasilnya pakaian tersebut berakhir di tempat pembuangan akhir sampah sampai menjadi bukit bukit sampah.Â
Artinya, kesadaran Masyarakat akan lingkungan masih rendah. Kondisi hari ini tentu menjadi tanggungjawab semua, dengan cara apa agar Indonesia bisa selamat dari bahaya sampah pakaian dalam mendukung energi untuk lingkungan dan kemajuan Indonesia dimasa yang akan datang?Â
Sudah saatnya Indonesia serius dalam penanganan sampah. Jika Pemerintah mampu membangun jalan Tol, dan insfrastruktur lainnya maka Pemerintah seharusnya juga mampu membeli teknologi pengelolaan sampah dan mengganti semua truk sampah yang ada di Indonesia dengan truk sampah berdasarkan jenis sampah dan membuat sistem mulai dari lini terendah disetiap rumah tangga.Â
Bagaimana cara menjalankannya?Â
1. Peran Pemerintah yang memiliki wewenang dan tanggungjawab penuh atas apa yang terjadi di Indonesia.Â
Pemerintah harus sudah punya sistem pembuangan limbah pakaian secara merata agar lebih dekat ke Masyarakat dalam praktek nya. Pemerintah pusat dapat bekerja sama dengan pemerintahan di bawahnya sampai paling terkecil yaitu dengan Ketua RT dimana setiap RT harus ada tempat khusus untuk warganya yang ingin membuang sampah pakaian bekasnya. Membuat semacam Bank Sampah Pakaian, dan bisa diterapkan untuk jenis sampah daur ulang lainnya.
Teknisnya bisa dilakukan setiap bulan untuk pengumpulannya. Dari tingkat RT, dikumpulkan berdasarkan jadwal ke masing-masing RW, dan akan dihancurkan di tempat pengumpulan RW. Setalah itu baju dibawa ke tempat pengelolaan sampah kain yang dibuat Pemerintah di masing-masing Provinsi.
Sampai menghasilkan Kain baru hasil daur ulang yang bisa dijual kembali dan menghasilkan pendapatan bagi masyarakat dan negara.Â
Seperti ini ilustrasinya.Â
2. Peran Publik Figur yang mempunyai peran besar dalam mempengaruhi gaya konsumtif Masyarakat secara emosional karena seringkali melihat idolanya bergonta-ganti gaya busana. Publik figur harus mengkampanyekan penggunaan baju dan bagaimana cara membuang baju baju mereka setelah tidak lagi digunakan. Dari sekian banyaknya publik figur yang mau speak up untuk menggunakan pakaian yang berkali-kali satu diantaranya Cinta Laura. Dan itu dampak nya tidak terlalu besar. Karena Masyarakat kita lebih senang disuguhi penampilan Publik Figur dengan hedonismenya. Jadi kalau semua Publik Figur dipaksa dengan aturan Pemerintah maka sekian persen dapat mempengaruhi dalam pandangan Masyarakat dalam membeli pakaian dan cara pembuangannya. Merubah paradigma gonta-ganti style baju dengan "gpp pakai baju yang itu itu aja" "gpp pakai baju yang biasa aja, yang penting bersih dan rapih" "boleh membeli baju jika ada baju yang benar benar rusak tidak dapat lagi dipakai" Dengan demikian fokus masyarakat kita bukan lagi gaya bajunya tetapi fungsi dari baju itu sendiri, tidak lagi menganggap rendah orang yang memakai baju itu itu saja. Merubah fokus Masyarakat yang lebih mementingkan makanan bernutrisi, pendidikan, investasi, atau hal lain yang lebih bermanfaat untuk masa depan tidak hanya menjadi kotoran sampah yang membahayakan lingkungan dimasa yang akan datang.Â
3. Industri Pakaian. Pemerintah harus meregulasi ulang izin industri pakaian. Buat aturan yang ketat, hanya yang menggunakan bahan yang aman dan jelas pembuangan limbahnya, dan memberi sanksi tegas bagi industri yang nakal.Â
4. Setiap elemen Masyarakat. Dengan adanya upaya Pemerintah dalam pengelolaan sampah pakaian yang sudah dipaparkan sebelumya, dan ditambah dengan banyak nya campaign dari Publik Figur akan pengelolaan pakaian dari kapan harus membeli pakaian baru sampai ke pembuangan sampah pakaian. Tidak mustahil Masyarakat kita akan menjalankan apa yang sudah diupayakan dalam mendukung energi untuk lingkungan dan kemajuan Indonesia dimasa yang akan datang. Selain ke lingkungan dampak dari tidak fomo akan pakaian masyarakat bisa mengalihkan dana membeli pakaiannya untuk membeli makanan yang bernutrisi tinggi atau ke hal-hal lain yang lebih sehat dalam keuangannya seperti investasi. Artinya ketika ada penurunan dari industri fashion makan akan ada peningkatan di sektor lainnya. Jadi yang sebelumnya memiliki usaha fashion bisa beralih ke usaha lain.Â
Jika semua peran itu dijalankan dengan benar, manusia hidup dengan konsep sustainable living dan slow living tidak mustahil Indonesia dapat merdeka dari sampah pakaian, keberlangsungan energi untuk lingkungan dan kemajuan Indonesia di masa yang akan datang.Â
Tetapi jika Indonesia tidak mau memulai fokus untuk hal ini, menurut The Sustainable Fashion Forum, pada 2030 konsumsi pakaian dunia diperkirakan akan meningkat hingga 63 persen, dari 62 juta menjadi 102 juta ton. Ketika manusia semakin tidak terkendali maka makin banyak produksi, berarti makin banyak pula potensi sampah. Sampah tekstil yang menumpuk di Tempat Pembuangan Sampah perlu waktu yang lama untuk terurai, dan dalam prosesnya, limbah ini melepaskan gas metan, kimia berbahaya, pewarna, dan mungkin juga mikroplastik (dari bahan pakaian yang mengandung plastik seperti polyester dan nilon), ke dalam tanah dan air.
Semoga Indonesia bisa bebas dari darurat sampah apapun. Hidup dengan saling berkolaborasi bukan kompetisi. Slow living itu perlu, dunia sudah terlalu berisik sampai kita lupa untuk menikmati hidup dengan "tenang dan senang".
Semoga bermanfaat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H