Mohon tunggu...
Ade Aryanti Fahriani
Ade Aryanti Fahriani Mohon Tunggu... Freelance Researcher -

Seorang hamba Allah pemakmur bumi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mangelo dan Pudarnya Kontrol Sosial

12 Juni 2017   12:50 Diperbarui: 13 Juni 2017   09:09 855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Sebenarnya ini adalah sebuah "oleh-oleh" yang saya bawa pasca penelitian pada tahun 2015 di ujung utara Indonesia, Miangas. FYI, Miangas adalah sebuah pulau terluar yang berada di Kabupaten Kepulauan Talaud Provinsi Sulawesi Utara, dan berbatasan dengan negara Philipina. Hampir serupa dengan daerah terpencil lainnya, kentalnya adat tradisional masih melekat di pulau ini. Meskipun demikian, gelombang arus modernisasi secara perlahan-lahan juga turut mempengaruhi dinamika masyarakat disini.

Dalam sistem kemasyarakatan, Miangas sendiri memiliki 3 aturan dasar yang mengatur setiap anggota masyarakatnya. Pertama aturan adat, kedua aturan agama, dan ketiga aturan pemerintah. Aturan adat memang masih menjadi primadona disini, karena peraturan ini sudah lama melekat dan diturunkan secara turun temurun oleh generasi ke generasi. Namun, pasca masuknya agama, khususnya Kristen di pulau mereka, berangsur-angsur peraturan adat yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama mulai dieliminasi atau disesuaikan. 

Contohnya saja kegiatan sihir dan perdukunan yang sarat dengan meminta kuasa roh nenek moyang, pada zaman dulu bukan hal yang tabu, tapi sekarang menjadi sesuatu yang terlarang. Adat dan agama ibarat "ayah" dan "ibu" yang saling bertopangan mengatur masyarakat selain aturan pemerintah. Percampuran antara adat dan agama ini pun kemudian melahirkan tradisi-tradisi tradisional yang "bernafaskan" keagamaan. Contohnya tradisi kelahiran papancungeyang merupakan sebuah refleksi dari rasa syukur atas karunia Tuhan yang telah memberikan mereka anak.

Ada sebuah tradisi yang cukup menarik disini yang disebut mangelo. Tradisi ini merupakan pemeriksaan berkala yang dilakukan oleh seorang mama biang(dukun beranak) pada semua wanita yang belum menikah maupun para janda di desa. Pemeriksaan ini terbuka dan bertujuan untuk memeriksa apakah ada diantara mereka yang hamil di luar nikah. 

Jika di dalam pemeriksaan diketahui ada yang hamil, maka wanita tersebut akan "di-interogasi" oleh tetua desa. Setelah itu, kabar kehamilan ini pun akan disebarluasakan di desa. Wanita ini kemudian mendapatkan sanksi adat dan sosial dari masyarakat, serta  akan "dijaga" agar jangan sampai melakukan upaya pengguguran janin hingga kelahiran kelak. Karena bagi mereka pengguguran janin merupakan sebuah dosa besar yang setara dengan pembunuhan manusia.

Tradisi ini jika dilihat dari kacamata kesehatan, dapat berperan sebagai salah satu preventif aborsi pada kehamilan di luar nikah maupun kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) disana. Namun, sekarang tradisi ini mulai mengendur. Jika dulu tradisi ini dilakukan berkala setiap 3-6 bulan sekali, tapi kini hanya dilakukan jika tetua desa merasakan keganjilan alam yang menerpa mereka. Menurut kepercayaan, seorang yang melakukan perzinahan hingga hamil, dapat membawa petaka bagi masyarakat desa, baik berupa fenomena alam yang tak biasa maupun sulitnya masyarakat dalam mencari ikan di laut.

Suatu ketika saya berada di sana, ada fenomena alam yang dirasakan cukup tak bersahabat oleh tetua desa. Ditambah lagi dalam beberapa waktu terakhir ini beberapa masyarakat mengeluhkan sulitnya mereka mendapatkan ikan di laut. Hal ini pun menambah curiga adanya kehamilan di luar nikah di desa. Setelah para tetua berdiskusi (secara tertutup), maka diputuskanlah dilakukan mangelo.

Awalnya saya menduga pemeriksaan mangelokali ini terbuka diumumkan secara luas di desa, dan semua janda serta wanita yang belum menikah "wajib" mengikuti pemeriksaan. Namun ternyata tidak seperti mangelo yang seharusnya. Pemeriksaan mangelo kali ini hanya dilakukan kepada beberapa wanita yang diduga hamil di luar nikah. Pemeriksaannya pun dilakukan secara tertutup. Meskipun tidak dikabarkan secara langsung, desas-desus tentang hamilnya si wanita, tersiar di seluruh penduduk dan menjadi rahasia publik diantara masyarakat desa.

Setelah diintrogasi, si wanita dan pasangan yang kedapatan hamil di luar nikah kemudian mendapatkan sanksi adat dan sosial. Mereka harus melakukan perjamuan dan doa dengan tetua desa yang disebut malatata. 

Pada awalnya tradisi malatata ini merupakan perjamuan yang besar, keluarga harus membayar denda dan juga harus menyembelih hewan (dalam hal ini babi) sekian ekor untuk perjamuan. Babi disini merupakan barang yang mewah, yang tidak setiap keluarga dapat membelinya, apalagi dalam jumlah yang banyak. Malatata pun dipandang sebagai sanksi yang cukup berat, dan diharapkan dapat memberikan efek jera.

Namun, dengan melihat kondisi ekonomi masyarakat sekarang yang mayoritas keluarga pra sejahtera, sanksi ini pun kemudian diberi keringanan. Apabila keluarga tidak sanggup menyembelih babi, maka ikan laut pun jadi. Karena esensi dari malatata ini merupakan "syukuran" doa meminta ampun dan keselamatan bagi desa dan pasangan yang hamil ini. 

Diharapkan dengan dilakukan malatata ini Tuhan mengembalikan kondisi alam desa mereka seperti semula. Ada pun sanksi sosial yang didapatkan oleh pasangan yang hamil di luar nikah dapat berupa cibiran masyarakat kepada keluarga, dipermalukan di depan publik, pengasingan, hingga diusir dari pulau.

Pernah suatu ketika saya mendapati sebuah keluarga kecil yang rumahnya menyendiri di tengah kebun, jauh dari perkampungan masyarakat desa. Rupanya mereka adalah pasangan yang dulunya mendapatkan sanksi pengasingan. Pernah juga mendapati cerita tentang perselingkuhan yang berujung pada sanksi sosial dipermalukan dengan diarak berkeliling desa. Namun, semakin ke sini, sanksi sosial itu kian mengendur. 

Masyarakat yang dulunya sangat sensitif dengan sanksi sosial kini mulai tak acuh dan "terbiasa" dengan pelanggaran sosial di sekitar mereka. Sekarang sangat jarang diberlakukan sanksi sosial yang berat seperti pengasingan, diusir ke luar pulau, atau dipermalukan di depan publik. Bahkan suatu ketika saya disana, ada pasangan remaja yang hamil di luar nikah, tidak mendapatkan sanksi sosial yang berat seperti kasus kehamilan di luar nikah pada dulu-dulunya.

Mengendurnya pelaksanaan tradisi mangelo dan sanksi sosial ini tak lepas dari pengaruh budaya luar yang turut mempengaruhi dinamika sosial masyarakat disini. Beriringan dengan gencarnya pembangunan daerah perbatasan sekaligus daerah pertahanan Negara di Miangas, membuka "keran" masuknya para pendatang (yang mayoritas merupakan pekerja proyek). Dari para pendatang ini masyarakat yang dulunya "terisolasi" dengan akses yang minim, lambat laun mulai terpapar budaya luar yang positif maupun negatif seperti individualisme, gaya hidup hedonis, pornografi, hingga pergaulan bebas.

Masyarakat disini termasuk tipe yang welcome dengan pendatang, dan sangat tertarik mempelajari sesuatu yang baru. Dengan keterpaparan ini mereka kemudian berusaha melakukan penyesuaian, seperti gaya hidup perkotaan. Kasus-kasus pergaulan bebas dan kenakalan remaja kian bertambah, membuat masyarakat kini seakan mulai jenggah, "terbiasa" dan kemudian "lelah", hingga akhirnya memilih untuk diam atau "mendiamkan". 

Ditambah lagi dengan paham individualisme ala perkotaan yang mulai melemahkan kontrol sosial masyarakat, hingga mereka tidak lagi terlalu "mengurusi" keluarga orang lain. Hal ini pun turut memperlemah penerapan sanksi-sanksi sosial yang ada, sanksi pun disesuaikan hingga tidak lagi seberat yang dulu.

Pada akhirnya, memang mangelo dan kontrol sosial hanyalah salah satu dari komponen preventif agar individu tidak terjerumus dalam kehamilan di luar nikah disana. "keimanan" individu dan penjagaan keluarga memang menjadi benteng utama. Namun, tak bisa dipungkiri, dengan kondisi degredasi moral yang tengah marak terjadi di masyarakat, membuat individu dan keluarga turut "kelimpungan" dalam membentengi diri mereka. 

Di sini lah pentingnya kontrol sosial sebagai penguat dimensi preventif sekaligus kuratif, dan rehabilitatif "penyakit" sosial yang dilakukan individu. Selain itu juga kontrol sosial ini pun juga perlu dijaga oleh peraturan formal, agar masyarakat dan individu dapat terlindungi dari pengaruh luar yang negatif, sehingga individu dan masyarakat dapat berjalan diatas koridor yang tepat. Oleh karenanya, untuk dapat menciptakan kehidupan masyarakat yang ideal, selain diperlukan "ketahanan" individu dan keluarga, diperlukan juga kontrol sosial dan peraturan formal yang diterapkan secara tegas.

Catatan:

Tulisan ini ditulis berdasarkan sudut pandang penulis dari pengalaman penelitian Budaya-Kesehatan di Miangas Tahun 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun