Diharapkan dengan dilakukan malatata ini Tuhan mengembalikan kondisi alam desa mereka seperti semula. Ada pun sanksi sosial yang didapatkan oleh pasangan yang hamil di luar nikah dapat berupa cibiran masyarakat kepada keluarga, dipermalukan di depan publik, pengasingan, hingga diusir dari pulau.
Pernah suatu ketika saya mendapati sebuah keluarga kecil yang rumahnya menyendiri di tengah kebun, jauh dari perkampungan masyarakat desa. Rupanya mereka adalah pasangan yang dulunya mendapatkan sanksi pengasingan. Pernah juga mendapati cerita tentang perselingkuhan yang berujung pada sanksi sosial dipermalukan dengan diarak berkeliling desa. Namun, semakin ke sini, sanksi sosial itu kian mengendur.Â
Masyarakat yang dulunya sangat sensitif dengan sanksi sosial kini mulai tak acuh dan "terbiasa" dengan pelanggaran sosial di sekitar mereka. Sekarang sangat jarang diberlakukan sanksi sosial yang berat seperti pengasingan, diusir ke luar pulau, atau dipermalukan di depan publik. Bahkan suatu ketika saya disana, ada pasangan remaja yang hamil di luar nikah, tidak mendapatkan sanksi sosial yang berat seperti kasus kehamilan di luar nikah pada dulu-dulunya.
Mengendurnya pelaksanaan tradisi mangelo dan sanksi sosial ini tak lepas dari pengaruh budaya luar yang turut mempengaruhi dinamika sosial masyarakat disini. Beriringan dengan gencarnya pembangunan daerah perbatasan sekaligus daerah pertahanan Negara di Miangas, membuka "keran" masuknya para pendatang (yang mayoritas merupakan pekerja proyek). Dari para pendatang ini masyarakat yang dulunya "terisolasi" dengan akses yang minim, lambat laun mulai terpapar budaya luar yang positif maupun negatif seperti individualisme, gaya hidup hedonis, pornografi, hingga pergaulan bebas.
Masyarakat disini termasuk tipe yang welcome dengan pendatang, dan sangat tertarik mempelajari sesuatu yang baru. Dengan keterpaparan ini mereka kemudian berusaha melakukan penyesuaian, seperti gaya hidup perkotaan. Kasus-kasus pergaulan bebas dan kenakalan remaja kian bertambah, membuat masyarakat kini seakan mulai jenggah, "terbiasa" dan kemudian "lelah", hingga akhirnya memilih untuk diam atau "mendiamkan".Â
Ditambah lagi dengan paham individualisme ala perkotaan yang mulai melemahkan kontrol sosial masyarakat, hingga mereka tidak lagi terlalu "mengurusi" keluarga orang lain. Hal ini pun turut memperlemah penerapan sanksi-sanksi sosial yang ada, sanksi pun disesuaikan hingga tidak lagi seberat yang dulu.
Pada akhirnya, memang mangelo dan kontrol sosial hanyalah salah satu dari komponen preventif agar individu tidak terjerumus dalam kehamilan di luar nikah disana. "keimanan" individu dan penjagaan keluarga memang menjadi benteng utama. Namun, tak bisa dipungkiri, dengan kondisi degredasi moral yang tengah marak terjadi di masyarakat, membuat individu dan keluarga turut "kelimpungan" dalam membentengi diri mereka.Â
Di sini lah pentingnya kontrol sosial sebagai penguat dimensi preventif sekaligus kuratif, dan rehabilitatif "penyakit" sosial yang dilakukan individu. Selain itu juga kontrol sosial ini pun juga perlu dijaga oleh peraturan formal, agar masyarakat dan individu dapat terlindungi dari pengaruh luar yang negatif, sehingga individu dan masyarakat dapat berjalan diatas koridor yang tepat. Oleh karenanya, untuk dapat menciptakan kehidupan masyarakat yang ideal, selain diperlukan "ketahanan" individu dan keluarga, diperlukan juga kontrol sosial dan peraturan formal yang diterapkan secara tegas.
Catatan:
Tulisan ini ditulis berdasarkan sudut pandang penulis dari pengalaman penelitian Budaya-Kesehatan di Miangas Tahun 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H