Sebenarnya ini adalah sebuah "oleh-oleh" yang saya bawa pasca penelitian pada tahun 2015 di ujung utara Indonesia, Miangas. FYI, Miangas adalah sebuah pulau terluar yang berada di Kabupaten Kepulauan Talaud Provinsi Sulawesi Utara, dan berbatasan dengan negara Philipina. Hampir serupa dengan daerah terpencil lainnya, kentalnya adat tradisional masih melekat di pulau ini. Meskipun demikian, gelombang arus modernisasi secara perlahan-lahan juga turut mempengaruhi dinamika masyarakat disini.
Dalam sistem kemasyarakatan, Miangas sendiri memiliki 3 aturan dasar yang mengatur setiap anggota masyarakatnya. Pertama aturan adat, kedua aturan agama, dan ketiga aturan pemerintah. Aturan adat memang masih menjadi primadona disini, karena peraturan ini sudah lama melekat dan diturunkan secara turun temurun oleh generasi ke generasi. Namun, pasca masuknya agama, khususnya Kristen di pulau mereka, berangsur-angsur peraturan adat yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama mulai dieliminasi atau disesuaikan.Â
Contohnya saja kegiatan sihir dan perdukunan yang sarat dengan meminta kuasa roh nenek moyang, pada zaman dulu bukan hal yang tabu, tapi sekarang menjadi sesuatu yang terlarang. Adat dan agama ibarat "ayah" dan "ibu" yang saling bertopangan mengatur masyarakat selain aturan pemerintah. Percampuran antara adat dan agama ini pun kemudian melahirkan tradisi-tradisi tradisional yang "bernafaskan" keagamaan. Contohnya tradisi kelahiran papancungeyang merupakan sebuah refleksi dari rasa syukur atas karunia Tuhan yang telah memberikan mereka anak.
Ada sebuah tradisi yang cukup menarik disini yang disebut mangelo. Tradisi ini merupakan pemeriksaan berkala yang dilakukan oleh seorang mama biang(dukun beranak) pada semua wanita yang belum menikah maupun para janda di desa. Pemeriksaan ini terbuka dan bertujuan untuk memeriksa apakah ada diantara mereka yang hamil di luar nikah.Â
Jika di dalam pemeriksaan diketahui ada yang hamil, maka wanita tersebut akan "di-interogasi" oleh tetua desa. Setelah itu, kabar kehamilan ini pun akan disebarluasakan di desa. Wanita ini kemudian mendapatkan sanksi adat dan sosial dari masyarakat, serta  akan "dijaga" agar jangan sampai melakukan upaya pengguguran janin hingga kelahiran kelak. Karena bagi mereka pengguguran janin merupakan sebuah dosa besar yang setara dengan pembunuhan manusia.
Tradisi ini jika dilihat dari kacamata kesehatan, dapat berperan sebagai salah satu preventif aborsi pada kehamilan di luar nikah maupun kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) disana. Namun, sekarang tradisi ini mulai mengendur. Jika dulu tradisi ini dilakukan berkala setiap 3-6 bulan sekali, tapi kini hanya dilakukan jika tetua desa merasakan keganjilan alam yang menerpa mereka. Menurut kepercayaan, seorang yang melakukan perzinahan hingga hamil, dapat membawa petaka bagi masyarakat desa, baik berupa fenomena alam yang tak biasa maupun sulitnya masyarakat dalam mencari ikan di laut.
Suatu ketika saya berada di sana, ada fenomena alam yang dirasakan cukup tak bersahabat oleh tetua desa. Ditambah lagi dalam beberapa waktu terakhir ini beberapa masyarakat mengeluhkan sulitnya mereka mendapatkan ikan di laut. Hal ini pun menambah curiga adanya kehamilan di luar nikah di desa. Setelah para tetua berdiskusi (secara tertutup), maka diputuskanlah dilakukan mangelo.
Awalnya saya menduga pemeriksaan mangelokali ini terbuka diumumkan secara luas di desa, dan semua janda serta wanita yang belum menikah "wajib" mengikuti pemeriksaan. Namun ternyata tidak seperti mangelo yang seharusnya. Pemeriksaan mangelo kali ini hanya dilakukan kepada beberapa wanita yang diduga hamil di luar nikah. Pemeriksaannya pun dilakukan secara tertutup. Meskipun tidak dikabarkan secara langsung, desas-desus tentang hamilnya si wanita, tersiar di seluruh penduduk dan menjadi rahasia publik diantara masyarakat desa.
Setelah diintrogasi, si wanita dan pasangan yang kedapatan hamil di luar nikah kemudian mendapatkan sanksi adat dan sosial. Mereka harus melakukan perjamuan dan doa dengan tetua desa yang disebut malatata.Â
Pada awalnya tradisi malatata ini merupakan perjamuan yang besar, keluarga harus membayar denda dan juga harus menyembelih hewan (dalam hal ini babi) sekian ekor untuk perjamuan. Babi disini merupakan barang yang mewah, yang tidak setiap keluarga dapat membelinya, apalagi dalam jumlah yang banyak. Malatata pun dipandang sebagai sanksi yang cukup berat, dan diharapkan dapat memberikan efek jera.
Namun, dengan melihat kondisi ekonomi masyarakat sekarang yang mayoritas keluarga pra sejahtera, sanksi ini pun kemudian diberi keringanan. Apabila keluarga tidak sanggup menyembelih babi, maka ikan laut pun jadi. Karena esensi dari malatata ini merupakan "syukuran" doa meminta ampun dan keselamatan bagi desa dan pasangan yang hamil ini.Â