Mohon tunggu...
Dhe Wie S
Dhe Wie S Mohon Tunggu... Penulis - Kang Baca Tulis

personal simple

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Songlit--Pembenci

19 September 2023   19:37 Diperbarui: 19 September 2023   22:25 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

"Kenapa lagi, Ma?" tanyaku.

Ini memang bukan kali pertama aku melihat Dawina bermalas-malasan di kasur, dengan wajah sedih layaknya Nobita di tolak cinta Sizuka.

"Mama, mau beli teh pelangsing sama mau beli korset yang original, Pa!" sahut Dawina.

"Waduh, memangnya kenapa? 'Haters' mana lagi yang buat Mama, tergiur mau beli begituan?" tanyaku.

Bukan aku nggak mampu membelikan keperluan istri semacam itu, bukan! Tapi aku berpikir, apa iya istriku se-terkenal itu, yang hampir setiap orang di komplek ini senang mengomentari hidup tetangganya sendiri.

Lalu kini terjadi lagi dan sekarang ingin punya tubuh singset seperti waktu dia masih jadi kembang kampus, sebelum akhirnya dilamar olehku, Dion Sastranegara.

"Kulit perut Mama, kan, emang tebal ya, Pa? Masa... Mama dikira hamil lagi, terus Mama, kan, bilang pengharuh operasi secar makanya jadi buncit. Intan malah ketawa! Katanya, 'dijaga Mbak bentuk badannya, kan masih anak satu, gimana nanti kalo udah tiga.' Begitu dia bilang, Pa."

Demi menyenangkan istri yang sudah susah payah mengurus anak, menjaga rumah selalu rapi, dan Meja makan yang senantiasa penuh lauk-pauk kesukaanku. Setelah keluhan itu aku mentransfer uang ke rekeningnya.

"Pa, makasih ya transferannya udah Mama ambil, dan udah dibelanjain juga," ucap Dawina di ujung telepon.

Dulu pernah, ketika Dawina mengeluhkan punya wajah berjerawat, lalu dia minta dibelikan serum yang bisa membuat wajah jadi kaya kertas "glossy". Layaknya artis Korea. Licin! Glowing.

"Habisnya kemarin Rasti ngeledekin Mama, muka Mama udah kaya parutan, bisa-bisa nanti yang ada Papa bisa ngelirik dia, katanya!" keluh Dawina.

Bukan Dawina namanya kalau setiap ada yang mengomentari dirinya, dia tidak histeris lalu bertindak. Justru, jika setelah istriku curhat tentang siapa saja yang suka kritik sana-sini, dia diam saja, aku yang khawatir. Takut terjadi apa-apa.

"Baiklah Mama, demi kamu Papa rela merogoh kocek lebih dalam lagi, asal mama senang."

Tetap saja gosip selalu sampai ke telinga, kata mereka kehidupan kami hanya sandiwara belaka, layaknya drama di televisi yang pura-pura bahagia, padahal penuh dengan jerat hutang. Karena mereka sering melihatku pulang dan pergi kerja seenaknya saja. Bahkan tak jarang dalam beberapa hari aku hanya di rumah. Tetapi hampir dua hari sekali kurir datang. Belanja terus, pikir mereka.

***

"Sini Mah, temenin Papa nonton dong. Masih sore kok udah tidur sih! Mama sakit?" Panggilku dari ruang teve.

Tidak ada jawaban. Setelah dilihat, benar saja, dia lagi asyik main Hape sendirian dengan wajah lesu, lagi!

"Mama sakit? Kok nggak nyahutin dari tadi Papa panggil."

"Pa ... Mama memang bau bawang, ya? Padahal Mama tiap abis masak, pagi atau sore selalu sempetin mandi. Bahkan Aqila suka Mama ajak ke kamar mandi, supaya nggak nangis saat ditinggal, biar seenggaknya Mama bersih setiap harinya."

"Mama wangi kok, wangi sabun Shizi. Memang siapa yang bilang, kalo mama bau bawang?" tanyaku padanya.

"Yori tuh, Pa tetangga baru. Waktu dia ada main ke rumah, Mama memang abis masak. Terus dia nyeletuk gini, 'Mba bau apa nih, menyengat banget nggak sih, ya? Kaya bawang putih.' Begitu, Pa."

"Lah, memang bener kan? Kali aja maksudnya bukan ke badan Mama tapi ke ruangan rumah kita yang masih tercium aroma masakan." Sahutku berusaha menghibur.

"Nggak mungkin, Papa! Dia bilangnya itu pas banget bibirnya dimanyunin ke arah badan Mama. Kenapa dia nggak bilang aja 'Masak apa nih Mba, kok baunya masih kecium' kan enak Pa, dengernya."

Aku bingung mau bilang apa lagi, karena akan percuma saja kalau terus di sanggah, nanti yang ada dikira membela tetangga. ujung-ujungnya dia pikir suaminya tertarik sama Yori.

"Terus Mama memangnya mau belikan apa buat dia? Minyak wangi?" tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan, berhubung aku sempat mengintip layar di hapenya, yang sedari tadi sedang melihat-lihat parfum di Instagram.

"Iya, Pa! Mama lagi cari minyak wangi yang kalo disemprot wanginya nggak hilang-hilang sampe sebulan." Jawabnya.

'Memang ada ya? Minyak wangi yang harumnya nggak hilang sebulan?' gerutuku dalam hati saja.

"Ya sudah, udah ketemu minyak wanginya? Besok Papa transfer deh ya, soalnya sekarang kuota di hape udah abis." Ungkapku pada Dawina sambil bahuku mendorong badan gempalnya.

Dia pun mengangguk dan tersenyum, senyumannya membuat seorang Dion nggak bisa beranjak begitu saja. Pucuk di cinta ulam pun tiba, akhirnya, Dawina sendiri yang nyolek aku untuk ke kamar belakang. 'Uhuy'

***

Di tahun awal pernikahan, memang sudah ada saja yang berkomentar tentang kehidupan rumah tangga kami, tapi Dawina ingin, kalo memang ada yang benci karena nggak suka sama kita, baiknya balas dengan memberi. Supaya suatu saat nanti akan tumbuh kasih sayang.

Biasanya para pembenci, hidupnya pasti nggak akan pernah merasa puas kalau nggak berkomentar. Seperti Rasti yang suka mengomentari kalau wajah istriku tak terurus. Padahal saat itu dia memang sedang datang bulan. Akhirnya uang yang aku transfer ke Dawina dibelikannya skincare, lalu dikasih cuma-cuma untuk Rasti, dengan alasan Dawina salah beli.

Begitu juga dengan Intan, Dawina berkunjung ke rumahnya dan membawa bolu kukus tabur keju-coklat berukuran besar. Sudah tentu, Intan menerimanya dengan sangat terpaksa, karena pada dasarnya dia selalu menjaga postur tubuh agar tetap ideal.

Lalu untuk Yori, Istriku memberi sebotol parfum, Dawina bilang aku membawa banyak parfum dari kantor. Dia pun menerima dengan rasa malu. Karena mengingat komentar pedasnya.

"Mama jadi malah termotivasi Pa, buat berbagi, saat mereka selalu cari-cari celah kekurangan kita, lalu dengan kita memberi setelah di kritik yang ada mereka akan semakin 'keki'," tutur Dawina pada suami tercintanya.

"Iya Ma, mudah-mudahan dengan mama berbuat baik, terus nggak ikutan kesal, apalagi sampe marah-marah sama mereka, mereka akan tersadar dan berhenti dengan sendirinya mengomentari kita, juga mengomentari hidup orang lain. Tapi ubah niat memberinya,ya?"

"Pokoknya, nggak usah juga terlalu dipikirin, ya, Ma. Niatin aja Mama memberi memang untuk berbagi,tok! Tanpa ada ingin buat mereka keki, dan yang penting kan dimata Papa, Mama itu perempuan yang penuh cinta, yang selalu menyejukkan hati, dan juga bisa bikin suasana jadi menyenangkan di rumah setiap harinya, 'sedep' gitu___ kaya masakan Mama, yang selalu bikin ngangenin." Ucapku setulus hati.

Kami pun berpelukan, dan benar adanya kalau kehidupan kami memang bahagia, tinggal di Perumahan Graha, dan rumah yang kami tempati dengan luas tanah 72m/persegi ini sudah berstatus rumah sendiri, membeli secara tunai pada saat aku mendapatkan proyek besar membuat web untuk perusahaan ternama.

Mereka memang hanya menilai dan melihat dari luarnya saja, tidak tahu bagaimana aku bekerja. Saat orang-orang tertidur, aku masih berkutat di depan komputer. Lalu keesokan harinya saat mereka beraktivitas, pada umumnya, waktunya bagiku istirahat setelah menyelesaikan begitu banyak revisi desain semalaman. Ke kantor lebih sering hanya untuk absensi, guna membubuhi tanda tangan atas pertanggung-jawabanku terhadap proyek desain web yang kukerjakan bersama team.

Mereka yang hanya gemar berkomentar tanpa memikirkan hati nurani si penerima kebencian, sebenarnya mereka sedang membuat hidupnya semakin susah, selalu bergelut dengan ketidakpuasan, karena hati mereka memang susah menerima kebahagiaan orang lain. Dan itu derita mereka.

Pembenci akan selalu menganggap kebenciannya sebagai angin lalu, tapi bagi yang dibenci itu menjadi luka.

Aku harap, mereka nggak akan lagi membenci dan mengintai kehidupan dan kesenangan orang lain lagi. Karena hidup mereka akan sia-sia, belaka.

"Pa, huwaaa  .... Papa ada selingkuh ya sama Disti, tetangga ujung gang yang punya tiga anak? Yang suaminya baru meninggal satu bulan lalu?" Dawina histeris menghampiriku yang sedang dikejar 'deadline' merevisi desain iklan di ruang kerja.

Yasalam! Sepertinya mereka malah semakin menjadi. Dasar .... Perempuan!

***End***

Kotak- Haters

Hei Pembenciku Jangan benci aku
Nanti kamu tersiksa
Hei Pembenciku Jangan mengintaiku
Nanti kamu kecewa
Aku senang-senang Menikmati hidupku
Kenapa kamu yang jadinya
Tersiksa terganggu

Karena aku
Ngaku-ngakunya Bahagia
Tapi kenyataannya Kamu susah
Susah melihat melihat
Kalau aku bahagia Itu derita lo

Kenapa sih lo mau Hidup lo jadi susah
Selalu cari celah Untuk bisa mencela
Sudahlah aduh kawan lagian buat apa
Yang ada lo kecewa Kalau gue sih having fun
Kritik sini kritik sana
Semua lo nggak suka
Kasih makan juga nggak Tapi lo yang marah-marah
Gue sih nggak masalah Tapi lo naik darah
Selalu aja salah Mending ita party aja
Kau benci Tapi ku jadi termotivasi
Buat ku lebih baik Kau malah makin keki
Sudah berhenti kawan Kita kan bukan lawan
Bangkitkanlah hidupmu Jangan kau sia-siakan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun