Bukan Dawina namanya kalau setiap ada yang mengomentari dirinya, dia tidak histeris lalu bertindak. Justru, jika setelah istriku curhat tentang siapa saja yang suka kritik sana-sini, dia diam saja, aku yang khawatir. Takut terjadi apa-apa.
"Baiklah Mama, demi kamu Papa rela merogoh kocek lebih dalam lagi, asal mama senang."
Tetap saja gosip selalu sampai ke telinga, kata mereka kehidupan kami hanya sandiwara belaka, layaknya drama di televisi yang pura-pura bahagia, padahal penuh dengan jerat hutang. Karena mereka sering melihatku pulang dan pergi kerja seenaknya saja. Bahkan tak jarang dalam beberapa hari aku hanya di rumah. Tetapi hampir dua hari sekali kurir datang. Belanja terus, pikir mereka.
***
"Sini Mah, temenin Papa nonton dong. Masih sore kok udah tidur sih! Mama sakit?" Panggilku dari ruang teve.
Tidak ada jawaban. Setelah dilihat, benar saja, dia lagi asyik main Hape sendirian dengan wajah lesu, lagi!
"Mama sakit? Kok nggak nyahutin dari tadi Papa panggil."
"Pa ... Mama memang bau bawang, ya? Padahal Mama tiap abis masak, pagi atau sore selalu sempetin mandi. Bahkan Aqila suka Mama ajak ke kamar mandi, supaya nggak nangis saat ditinggal, biar seenggaknya Mama bersih setiap harinya."
"Mama wangi kok, wangi sabun Shizi. Memang siapa yang bilang, kalo mama bau bawang?" tanyaku padanya.
"Yori tuh, Pa tetangga baru. Waktu dia ada main ke rumah, Mama memang abis masak. Terus dia nyeletuk gini, 'Mba bau apa nih, menyengat banget nggak sih, ya? Kaya bawang putih.' Begitu, Pa."
"Lah, memang bener kan? Kali aja maksudnya bukan ke badan Mama tapi ke ruangan rumah kita yang masih tercium aroma masakan." Sahutku berusaha menghibur.