"Umi Nana istrinya Pak Abdullah yang kerja di ponpesnya Pak Haji Pandi? Berarti Mak Minggu lalu infak buat pesantrennya Pak Haji?"
"Bukan, Ci. Kemarin Mak infak buat pesantren Al-Jihad yang di Bogor Timur."
"Itu mah masih pesantrennya Pak Haji, ya, kan, Bang?"
"Eh, I-iya Mak. Al-Hafiz sama Al-Jihad masih pondok pesantrennya Pak Haji Pandi." Tegas Bang Jo.
"Emang, iya? Duh, jangan-jangan dikira Pak Haji, Mak tebar pesona sama beliau melalui infak. Gimana dong, Ci?"
Masa iya Pak Haji sampai berpikir seperti itu. Sepertinya memang ini sudah takdirnya Mak Esih. Mungkin Allah langsung membalas infak mak dengan mendatangkan jodoh.
"Ya ... gak gimana-gimana. Terima aja, kalau emang Mak suka sama Pak Haji. Eci ikhlas kalau Mak mau kawin lagi."
"Yeaaay ... Al, El, Dul mau punya Kakek," ucap si Kembar berbarengan yang sedari tadi bermain monopoli di teras.
"Nanti, kan, seru kalau Dul punya Kakek bisa diajak: ke kebon, diajak mancing, main kuda-kudaan, main layangan, ya, kan, Nek?" tanya Dul.
"Eh, keseringan nonton Upin-Ipin Lu mah, Dul. Emangnya kita punya kebon? Anak kecil nimbrung aja, nih," jawab Mak Esih sambil senyum-senyum.
Mak dari kemarin kelihatan galau itu mungkin karena merasa kalau terima lamaran Pak Haji Mak seperti mengkhianati babeh dan anaknya. Padahal memang sudah dua tahun lalu aye dan Bang Jo mengizinkan Mak kalau mau kawin lagi.