Mohon tunggu...
Dhe Wie S
Dhe Wie S Mohon Tunggu... Penulis - Kang Baca Tulis

personal simple

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Si Tangan Dingin

7 September 2023   12:38 Diperbarui: 7 September 2023   12:39 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ngapain Pak segala biji ditanam? Berbuahnya juga lama, kan? Mending beli pohon yang sudah jadi," tanyaku pada Bapak.

"Nggak apa-apa, kalau beli, kan, mahal, Nak. Lagi pula ini memang Bapak tanam untuk kalian nikmati nanti, syukur-syukur berbuah manis." Bapak berucap sambil tangan memacul tanah dengan cangkul kecil, untuk memasukkan biji-biji yang akan di tanamnya.

Bapak dengan usianya yang sudah lima puluh sembilan tahun tapi masih semangat dan segar. Padahal, Bapak punya riwayat penyakit diabetes dan juga kolesterol. Terkadang, tidak jarang Bapak membandel. Masih suka makan bersantan dan minuman manis yang berlebihan dengan obat terlewat sehari atau dua hari tanpa diminum.

"Iya, Pak. Bapak kalau nanem apa aja pasti suka berbuah." Aku tidak ingin lagi mematahkan semangatnya bercocok tanam.

"Bapak kamu itu memang bertangan dingin, cocok kalau jadi petani, tapi sayang, sawah aja kita nggak punya, ya, Pak?" Ibu menimpali sambil membawakan secangkir kopi dan singkong rebus yang kubeli tadi pagi di pasar.

"Iya," jawab Bapak. 

Bapak dan Ibu berboncengan mengendarai sepeda motor hanya ingin melepas kangen pada ke empat cucunya, beliau mau menempuh jarak tiga jam untuk berkunjung ke rumahku dari Jakarta ke Bogor.

Memang tidak akan lama mereka menginap, paling hanya dua hari saja. Namun, waktu yang singkat itu membuatku sangat bahagia. Padahal bulan lalu, kami baru saja ke Jakarta. Kata Ibu, Bapak betah tinggal di rumahku yang masih terbilang asri, karena di sepanjang jalan, kanan dan kiri mata di suguhkan hamparan sawah yang luas. Daerah yang masih di tanami banyak pohon, beda dengan Jakarta pinggiran, yang sudah sumpek dengan polusi dan bangunan rumah yang padat.

Bapak dan Ibu di usia senja masih bergelut dengan usaha rumahannya, yakni menjadi tukang jahit. Bapak sejak dulu selalu terampil membuatkan aku celana panjang maupun pendek dari bahan sisa. Kini, menjahit kain sisa yang dijadikan celana diberikannya untuk ke empat cucunya. Aku anak perempuan semata wayang, menjadikan diriku dilimpahi kasih sayang sejak kecil sampai dewasa, hingga telah menjadi seorang Ibu. Bagi mereka aku tetaplah bayi kecil mereka yang akan selalu di perhatikannya.

"Sudah Pak, istirahat dulu. Sebentar lagi mau azan Zuhur. Bapak, kan harus bersiap ke masjid. Apa Bapak mau makan dulu?" tanyaku padanya.

"Bapak mau ke masjid dulu, setelah itu Bapak mau buatkan meja kompor," ucap Bapak yang masih saja ingat kalau aku pernah mengeluhkan belum punya meja di rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun