"Iya, Eriska Dewanti. Aku pulang nebeng Kang Ori. Hati-hati kamu di parkiran motor." Riri memberi peringatan. Akan tetapi bagiku, itu sama saja menakut-nakuti.
Aku hanya mengacungkan jempol. Kantor yang hanya dua tingkat dengan parkiran motor yang letaknya di belakang membuatku sedikit memberikan rasa takut, padahal akan ada Pak Eman Satpam kantor yang berjaga di tempat parkir. Tempat parkir kantor BIM yang letaknya ada di belakang, bagiku memiliki hawa yang tidak biasa, mungkin karena masih ada beragam pohon yang menjulang tinggi.
Kumasukan kunci ke lubang stop kontak motor CB 150R berwana putih peninggalan Papa. Namun, tiba-tiba motorku tidak bisa distarter.Â
Kupindai area parkir, pos jaga yang berada di sebelah kanan ternyata tidak ada penampakan Pak Eman di dalamnya. Aku mengingat-ingat ketika melewati pos jaga itu, sepertinya tadi aku mengangguk memberi hormat pada Pak Eman. Kenapa sekarang dia tidak ada di sana?
Bulu kudukku mulai meremang. Kucoba menstater motor kembali, tetapi nihil. Ketika aku ingin meninggalkan motor menuju kantor lagi, aku dikagetkan oleh Pak Eman yang datang dari arah belakang.
"Neng, kenapa motornya?"
"Astagfirullah! Pak Eman ngagetin aja, dari mana, Pak?" tanyaku padanya yang tampak terlihat kusut. Tidak biasanya Pak Eman menundukkan kepala. Aku pun berusaha melihat wajahnya dengan menurunkan pandangan ingin memastikan sekali lagi.
"Coba Bapak engkol motornya." Pak Eman menengadahkan tangan meminta kunci motorku dengan tetap tertunduk.
Motor yang tadinya tidak bisa menyala, kini sudah hidup dengan bantuan Pak Eman. Aku langsung memasang helm dan melajukan motor dengan pelan setelah ku ucapkan terima kasih padanya.
"Neng ...." Pak Eman memanggil kembali setelah motorku hampir keluar dari pagar kantor.
Aku menoleh dengan hati yang tidak menentu, seolah-olah aku sedang diperhatikan sepasang mata, entah oleh siapa. Karena aku sudah mengenakan helm, hanya anggukan kepala yang kuberikan, pertanda Pak Eman yang harus menghampiri.