Seiring waktu berjalan, hubunganku dengan Dito terbilang dekat. Di sekolah aku jadi buah bibir yang dikenal sebagai pacar Dito. Padahal kami tidak secara resmi berpacaran. Dia tidak pernah sekalipun mengutarakan cinta dan bilang ... kita pacaran. Namun, bisa dipastikan perhatian Dito melebihi dari sekedar teman biasa.
Setelah lulus sekolah Dito tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi. Dia langsung bekerja di salah satu bengkel besar milik temannya. Setiap bulan saat gajian, Dito langsung mengajakku makan dan terkadang kami belanja membelikan berbagai aksesoris untukku.
Ayah Dito menikah lagi dan tak pernah menemuinya. Sedangkan ibunya meninggal saat dia masuk sekolah menengah pertama. Dito dibesarkan oleh paman dan bibinya yang hidup tanpa seorang anak, sejak duduk di bangku kelas enam sekolah dasar.
Hingga suatu hari.
"Halo, ini dengan Saudari Sarah Sunandi?" suara asing menyapa melalui ponselku.
"Iya betul, ini dengan siapa, ya, Pak?" jawabku.
"Kami dari pihak kepolisian, ingin menyampaikan informasi bahwa Saudara Dito Kasyavani ada di kantor polisi, karena terlibat perkelahian. Mbak Sarah, saya minta tolong datang sekarang juga ke kantor kami."
Deg!
Hatiku berdegup kencang, keringat dingin membanjiri kening. Baru kali pertama aku terlibat dengan hal seperti ini. Aku pun tidak berani bercerita pada Papa dan Mama, karena hubungan aku dengan Dito selama ini berjalan secara sembunyi-sembunyi.
***
Dito dibebaskan dengan uang jaminan. Selama ini memang dia selalu menyetorkan setengah dari gajinya setiap bulan yang didapat kepadaku. Aku pun menyimpannya selama ini.