Hari ini kompas menurunkan berita dari hasil tim risetnya, Kota Slow Living. Dari sekian banyak, kota yang ditulis hampir sebagian besar adalah kabupaten, buka kota. Sangat menarik berbicara tengang slow living. Lantas apa itu maksudnya?
Slow liviing adalah konsep gaya hidup yang menekankan kehidupan yang diperlambat. Gaya hidup ini ingin menikmati momen yang kecil dan sederhana, fokus pada kualitas hidup daripada kuantitas aktifitas. Dengan demikian, stres bisa direduksi dan bisa lebih sejahtera.
Slow living adalah reaksi kepada hidup modern yang serba cepat dan instant, alih-alih dengan dibantu teknologi. Kehidupan yang penuh tuntutan, kesibukan, tekanan, dan kecemasan. Bahkan ada yang bilang, ambil nafas dulu,
Kehidupan yang diperlambat akan menjadikan seseorang menikmati proses, menghargai waktu, memberi nilai pada setiap aktififtas yang jauh lebih mendalam dan bermakna. Satu lagi, slow living akan meningkatkan kualitas interaksi sosial.
Kompas memberikan parameter kota slow living ini; biaya hidup, keamanan, transportasi, lingkungan yang baik, kesehatan, infrastruktur digital, kesejahteraan dan tata kelola yang baik. Itu yang dinilai, bagaimana dengan kotamu. Saya yang ber-KTP Salatiga mau cerita.
Di kampungku sini, UMR Rp 2.378.951,00 sudah cukup untuk hidup layak. Tukang bangunan saja Rp 125.000,00 dalam sebulan 3 juta di tangan. Bukan simplifikasi, tetapi setidanya memberi  gambaran jika makan Padang Murah harga 8 ribu masih ada, dan Soto 4 ribu juga bertebaran. Murah lagi ya di pasar.
Beberapa waktu yang lalu muncul kejahatan jalanan, ternyata hanya anak remaja dari Kabupaten sebelah yang COD tawuran di Salatiga. Mungkin saja strategis buat ketemuan, berkelahi tidak di kampunya sendiri, dan banyak rumah sakit. Sangat aman, kalau tidak aman tidak mungkin pasar pagi dimana selepas diri hari pasar itu penuh dengan pedagang. Kantor Polisi, Kodim, Korem, bahkan ada Batalyon apa masih kurang aman?
Trasnportasi, anda mau kemana? Bandara tinggal pilih sendiri mau Solo apa Semarang. Mau naik bus, ada terminal gede. Naik angkot, banyak yang kosong menanti kalian, mau lewat rute apa carter, boleh-boleh saja. Angkutan online, dari yang buatan akamsi, sampai yang skalan internasional ada. Bahkan andong dan becak masih siap bersaing. Ojek pangkalan juga siap gas, rental kendaraan juga menjamur. Mau jalan kaki ya enak.
Salatiga di elevasi 400-600 m dpl, kadang sejuk, kadang kelewat adem, dan kalau sumuk tak sesumuk kota lain. Air bersih, jangan tanya-langsung dari sumbernya. Salatiga banyak jalan dan nama kampung dengan nama kali; londo, mangkak, taman, pengging, benoyo dan banyak yang lain. Udara, anda bisa ambil nafas panjang tanpa takut lubang hidung jadi hitam. Motor dua tak disini jadi tontonan, dikira fogging dinas kesehatan.
Infrastruktur digital, entah maksudnya apa. Setahu saya, tidak ada sejengkal  tanah yang tidak kelewat sinyal. Selama punya pulsa, paket data kita tidak akan gabut. Jika tidak ada, ada spot wifi cukup dengan es teh manis. Mau apa lagi, alasan tidak ada sinyal, pasti tower BTS sedang diperbaiki habis kesambar petir.
Berbicara sejahtera, sangat relatif. Dibilang cukup ya cukup, kalau mau bilang kurang ya pasti kurang. Indikator kriminalitas menjadi salah satunya. Jarang ada berita copet, maling digebuki, rampok, begal, gendam. Kalaupun ada itu orang luar yang cari nafkah. Kalaupun orang KTP 0298 itu oknum saja dan kelainan jiwa, atapun terpaksa dan diselesaikan tingkat tetangga atau antar teman.
Tata kelola, ini bab apa dulu. Yang setahu saya, masih tertib kok kalau suruh pakai helm dan berhenti di belakang garis putih. Di sini nyaris klakson kendaraan itu tidak ada guna, dipake kalau hanya buat menyapa. Kalau di depan macet, mulut ini lebih bisa dipercaya dengan bertanya "ana apa neng ngarep". Macet "oh ya wes". Selesai, lebih baik menunggu sambil lihat status tetangga. Satu lagi, saking gabutnya ini pemerintah suka iseng kadang-kadang. Jalan yang masih oke di-okein, reboisasi jalan dengan ganti pohon yang sudah rindang, bikin halang rintang di trotoar, pasanh bola-bola batu di tepi jalan yang membuat orang bingung.
Salatiga, kota tertua nomer dua setelah Palembang. Lahir 750 mahsehi, sudah sangat renta, namun menolak tua. Kota yang masih muda, tetapi selow, iya selow sekali. Berangkat kerja 5-10 menit sudah sampai, ujung ke ujung cuma 12 km, itu pelari maratom 2 kali bolak balik baru finish.
Suatu saat saya ke Medan dengan seorang arsitek. Dia cerita tentang sejarah kota, dan Salatiga dan Medan berbeda 180 derajat. Saya mau nyebrang, nunggu sepi ditertawakan orang. Langsung saja, mereka sambil ngebut tau kok ada orang nyebrang. Nggegirisi, akhirnya saya ikuti langkah dia saat di jalan apalagi nyebrang. Di Salatiga, kita yang disuruh nyebrang....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H