"Hei ayo balik-balik, mata kamu minus..!" kata dokter Eny yang melihat anak-anak ini sedang makan jajan mereka. "Dari mana tahu mata mereka minus dok ?" tanya saja. "Lihat cara mereka memegang makanan dekat sekali, itu kebiasaan dan menjadi tanda-tanda ada masalah dengan penglihatan mereka" katanya.
Sekitar tiga minggu yang lalu saya sempat mengantar orang tua pergi ke toko kacamata untuk mencari kacamata baca. Di toko optik, terlihat beberapa anak kecil sedang mencoba beberapa rangka kacamata di depan kaca sembari mematut diri.Â
"Wah gaya sekali anak jaman sekarang, kecil-kecil sudah pakai kacamata" tanya saya kepadal pelayan optik.Â
"Bukan mas, dalam 2 tahun belakangan ini, banyak anak-anak yang matanya sudah minus, bahkan sudah parah" kata mBaknya.
Saya teringat, pandemi yang sudah tahun ke-3 ini sudah mengubah kebiasaan anak-anak. Mereka kini lebih familiar dengan layar ponsel pintar dibandingkan dengan buku atau papan tulis. Aktifitas di luar ruangan juga dibatasi karena pandemi, dan memaksa anak-anak ini berada di layar monitor.
Kebiasaan melihat obyek dalam jarak yang sama dengan waktu yang lama dan berulang, menyebabkan kekakuan otot mata. Dengan demikian elastisitas otot mata sudah berkurang dalam memfokuskan lensa pada jarak yang berbeda.Â
Akibatnya, anak-anak menglami gangguan rabun jauh atau miopi. Yang terlihat saat ini adalah fenomena, semua serba dekat di depan mata-anak dan menjadi kebiasaan. Benar kata dokter Eny.
Program Sejuta Kacamata yang bergerak dalam donasi kacamata, kali ini berkegiatan di SDN Kumpulrejo 1,2, dan 3 di Kota Salatiga, Jawa Tengah.Â
Sasaran kegiatan ini adalah memeriksa kondisi mata anak-anak, begitu juga guru dan wali muridnya. Dengan penglihatan yang baik diharapkan produktifitas anak-anak dalam belajar dan berkegiatan akan normal dan bisa jauh lebih baik lagi.
Dalam kegiatan ini dilibatkan guru-guru kelas untuk melakukan penyaringan pada anak didiknya dengan diagram Snellen. Diagram ini dapat dengan mudah ditemukan, bahkan waktu saya SD tahun 90-an diagram snellen ini tampil manis di ruang UKS tanpa tahu untuk apa dan bagaimana cara memakainya. Setelah 30 tahun kemudian baru tahu, jika itu fungsinya untuk melihat apakah mata minus atau masih normal.
Hasil skrining dari guru kemudian dilanjutkan dengan skrining lanjutkan dengan alat click chek. Alat ini prinsip kerjanya mirip dengan alat optik digital yang ada di toko kacamata, cuma digunakan secara manual. Alat ini akan membantu seberapa besar mata itu mengalami gangguan dari minus 8 sampau plus 8 dan berapa besar tingkat asigmatisme atau silinder.
Pemeriksaan yang terakhir yang dilakukan dokter mata adalah dengan lensa trial berdasar masukan dari click chek untuk memercepat prediksi. Pada pemeriksaan ini kembali dengan menggunakan diagram snellen tetapi siswa sudah menggunakan kacama uji coba. Siswa akan diberikan berbagai ukuran lensa dan akan dilihat mana yang paling optimal untuk melihat.
Dalam pemeriksaan mata, tidak semata-mata hanya berapa angka obyektif, tetapi harus juga melihat subyektifitas dari pemakai. Lensa uji coba ini untuk anak-anak dibutuhkan kesabaran ekstra, karena anak-anak harus diajak serileks dan senyaman mungkin agar bisa mendapatkan hasil yang maksimal.
Ahirnya anak-anak yang sudah di test matanya selasai dan kini tinggal menunggu waktu, kacamata dipesakan lalu sekitar 2-3 minggu akan dikirimkan ke sekolahan masing-masing. Waktu yang mendebarkan tentu saja bagi anak-anak sekolah ini.
Di luar gedung sekolahan, para orang tua siswa yang menjemput sekolah anaknya ikut dalam memeriksakan dirinya untuk kacamata baca. Sejumlah orang tua mengantre untuk mendapatkan kacamata baca yang pas dan nyaman.Â
Dengan demikian anak dan orang tua terlayani semua dan diharapkan bisa membantu mereka agar bisa memiliki penglihatan yang baik dan sempurna. "lha kami guru-guru dapat tidak..?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H