Saya hanya geleng-geleng kepala, betapa pelancong saat ini sangat dimanjakan. Jika dulu harus berjam-jam di kapal, sekarang kurang dari 120 menit sudah sampai jika memilih kapal cepat. Iri sekali dengan saat ini.
Lombok yang dianugerahi bentang alam yang luar biasa adalah modal utama untuk menyambut para tetamu. Bagaimana tidak, dari dasar laut hingga puncak gunung semua bisa didatangi dan tersedia semua akses transportasi. Jika teringat saja seperti mau menangis, dulu berjam-jam menunggu angkutan umum, itu pun kalau lewat.
Menjual Potensi Lokal
Ada yang menarik yang disampaikan dalam konferensi Internasional yang bertajuk "Infinity Experiences of Nature and Sport Tourism," yakni tentang potensi lokal yang ada di Lombok. Para pelancong berbisik, yang mereka cari adalah itu-potensi lokal.
Saya teringat, saat pertama kali ke Lombok saat makan di sebuah kedai hendak memesan air mineral. Saya menyebut salah satu merek dagang terkenal, tetapi sang empunya menyodorkan air mineral merek taman kerajaan di Lombok.
Sepintas saya melirik semua air mineral hanya satu merek. Jangan-jangan dalam dunia perdagangan, ini yang namanya praktik politik proteksi. Atas nama tanah air di Lombok saya sangat sepakat dimana mereka makan dan minum dari tanahnya. Lantas saya membawa satu botol buat oleh-oleh khas Lombok.
Lain cerita, saat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo bertanya pada Gubernur NTB Zulkieflimansyah, mengapa plecing kangkung Lombok sangat khas? Jawaban yang terlontar "saya juga heran, dulu pernah menanam Kangkung Lombok di Jawa-Yogyakarta, tapi rasanya berbeda".
Tanah Lombok memberikan citarasa pada sepucuk kangkung yang tidak bisa dirasa di tempat lain. Rasa inilah yang menjadi sumber penasaran calon-calon pelancong yang tidak bisa didapatkan di dunia maya atau toko virtual.
Ada pepatah mengatakan. Untuk mendapatkan pedang yang tajam, jangan mencari di pasar, tetapi pergilah ke pandai besi. Begitu juga untuk melihat potensi lokal, maka harus menelusuri Lombok sejengkal demi sejengkal.
Suatu saat saya penasaran dengan tenun lombok yang terkenal itu. Apa benar sedemikian istimewa. Datanglah saya di Desa Sade. Benar saja, saya melihat bagaimana kapas itu dipintal menjadi benang, kemudian diwarnai dengan pewarna alam.
Setelah itu, diikat dalam alat tenun dan satu persatu dirangkai menjadi selembar kain. Merinding saya melihat proses yang rumit, telaten, dan penuh citarasa seni. Baru selembar kain, padahal masyarakat di sana mengenakan semua.