"Ini mah hotel bintang 5" kata Mas Sigit sembari membentangkan kedua tangannya di dalam ceruk gua. Dia adalah peneliti dari Balai Arkeologi Sumatera Selatan, mengerti benar bagaimana wujud hunian masa lalu. Hari ini saya diajak napak tilas pada masa nirleka di Bukit Bulan Jambi.
Yang saya kurang sukai dari teroka ini adalah saat harus menyebrangi sungai dengan masuk ke badang sungai. Benar saja, baru beberapa langlah masuk Sungai Limun, ada mahluk yang lari terbirit-birit. Tidak bukan adalah seekor ular yang terusik dengan derap langkah kaki kami, yang tetiba kami juga terbirit-birit.
Kami tergabung dalam tim penelitian tentang ekplorasi hunian manusia prasejarah, yang sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Tidak mudah menemukan keberadaan mereka, terlebih peninggalan mereka. Inilah tantangan yang kami hadapi saat ini di Bukit Bulan-Jambi.
Langkah kaki kami tak seperti manusia purba. Sebagai manusia modern otot dan tenaga kami sudah banyak tereduksi oleh modernisasi, sedangkan alam ini tidak banyak berubah. Medan yang kami hadapi tidak jauh berbeda, namun kami yang berbeda.
Setelah menyebrang sungai, lalu kami masuk dalam hutan dan menuju perbukitan. Bukit ini masuk dalam kawasan Celau Petak, dan kebetulan di sana ada gua Celau Petak, salah satu gua terpanjang di Bukit Bulan.
Tujuan kami adalah mencari ceruk-ceruk gua yang disinyalir menjadi tempat hunian manusia purba. Setiap ceruk kami periksa, kami korek-korek, kami amati dinding-dindingnya. Kami berharap menemukan satu lukisan dinding, atau goresan, tulang belulang, dan kalau beruntung dapat peninggalannya.
Tidak mudah mendapatkan keberuntungan menemukan hunian manusia purba. Kami hanya mengantongi informasi berdasarkan logika, orang jaman dahulu tinggalnya dimana. Orang pasti ingin tinggal ditempat yang aman, terlindungi, kering, dekat sumber air, mudah dijangkau. Penciri itulah yang kami pegang, guna mencari tempat seperti itu.
Kami berjalan dari gua ke gua. Kami menyambangi tiap ceruk, meskipun kadang harus memanjat di ketinggian dengan resiko terjatuh. Mungkin dahulu, mereka dengan mudahnya memanjat tanpa ketakutan, karena sudah terbiasa. Bagi kami, kami harus memikir berkali-kali bagaimana naik dan turunnya dengan segala risikonya.
Sudah setengah hari kami mencari. Di tepi sungai kami melepas lelah, dan lapar sembari membuka bekal. Mungkin ini makanan paling  nikmat bagi kami saat itu, karena memang tidak ada pilihan lain. Belum rasanya nasi ini turun, kami harus segera bergegas.
Langkah kaki kami semakin berat. Tetiba kami dihadapkan pada sebuah dinding batu gamping yang terjal. Sekilas melihat ada celah kecil untuk dipanjat. Kami merayap di dinding batu kapur tersebut. Benar saja, kami menemukan sebuah ceruk raksasa.
Sebuah ceruk yang kering, dengan diamter sekitar 15 meter dan tinggi 20 meter. Di dalam ceruk tersebut terdapat ruang-ruang kecil. Ceruk ini rasanya seperti lobi hotel bintang lima, lengkap dengan kamar-kamar presiden suitnya.
Tanah yang kami injak kering, di dekat situ ada air. "Plakk" suara tepukan tangan dari Mas Sigit sembari bilang "klop". Dengan sekop kecil dia mengorek-orek tanah, tak berselang lama dia seperti Issac Newton menemukan gravitasi "eureka".
Dia menemukan serpihan-serpihan batu kaca. "Obsidan" katanya sedikit kencang. Benar, batu obsidian menjadi indikator peninggalan masa lalu. Batu tersebut dibelah setipis mungkin dan digunakan sebagai pisau. Tajamnya seberapa? Jangan tanya. Tangan saya pernah robek kena pecahan batu tersebut. Konon tajamnya melebihi pisau bedah.
Tidak hanya satu atau dua obsidian yang kami temukan, namun lebih dari sepuluh. "Stop jangan banyak-banyak, sisanya buat bahan penelitian. Di tempat ini bisa melahirkan sarjana arkeologi, master, doktor, bisa juga profesor" kata mas Sigit dan kami menghentikan korek-korek tanah tersebut.
Hari ini, setidaknya kami sudah menemukan satu puzzle nirleka di tempat layaknya hotel bintang lima. Menunggu waktu, para ahli akan memerdalam untuk mencari bukti-bukti pendukungnya. Kita tunggu saja, cerita dari mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H