Di bawah naungan kanopi trembesi (Albizia saman) yang berukuran raksasa saya melihat jajaran sepeda tua terparkir berjajar dan samar terdengar riuh suara perempuan.Â
Siang ini, saya numpang berteduh sembari bersandar di perakaran ki hujan. Lasem telah membuat kesengsem, bagaimana tidak karena hari ini saya akan melihat proses pembuatan batik encim yang tersohor dan tiada duanya itu.
Batik 7 Bidadari
Saya berjalan menyusuri lorong-lorong di Karang Turi sebuah kawasan pecinan di Lasem-Rembang. Mata saya tertuju pada pintu gerbang berwarna hijau toska dan kawan yang mengajak saya langsung meminta menuju halamam belakang. Saya berjalan melewati bangunan bergaya fujian dan terdapat mangga lali jiwo di halamannya.
Keunikan batik di sini adalah, para pembatik tidak mengenal pola dan langsung melukis di atas kain mori. Saya duduk di samping mbah Supi yang mengaku sudah berusia 81 tahun. Dia bercerita banyak hal tentang batik kepada saya.
Terminologi Batik
Batik mungkin secara terminologi berasal dari kata Jawa amba dan titik. Amba berati menggambar dan tik atau titik dalah bulatan-bulatan kecil seperti titik dalam huruf.Â
Motif dalam batik digambar titik demi titik, mungkin dalam fotografi digital disebut dengan piksel dengan satuan DPI (dot pixel inch). Ada juga yang mengatakan batik berasal dari kata ambatik atau membuat titik-titik di atas kain. Yang pasti batik adalah seni lukis kain dengan motif dan makna tertentu.
Teknologi Batik
Batik yang dikenal saat ini sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat, terutama pada proses pembuatannya. Dulu membuat selembar kain batik membutuhkan waktu 3 -- 4 bulan, namun sekarang dalam hitungan menit atau jam sudah bisa membuat batik.
Teknologi yang berkembang setelah batik tulis adalah batik cap. Batik cap digunankan untuk menjawab permintaan produksi yang semakin besar dan cepat. Digunakanlah plat dari logam yang dibuat pola tertentu mirip dengan stempel lalu dicapkan pada lembaran kain.
Perkembangam mesin cetak ikut mewarnai dunia perbatikan. Secara konvensional batik dapat dibuat dengan alat cetak sablon. Dengan cetakan dari saringan khusus cat akan dilewatkan dalam membran yang sudah dibuat menjadi pola.Â
Dalam satu gerakan, maka batik langsung tercipta. Saat ini batik semakin maju dengan mesin cetak digitil. Hendak mencetak batik model apa saja, tinggal diolah di komputer selebihnya serahkan pada mesin pencetak otomatis.
Batik tertua dibuat dengan cara di tulis yakni yakni dengan menggunakan canting. Canting  merupakan piranti mirip dengan pena yang tintanya adalah cairan lilin panas atau yang disebut dengan malam. Ada sekitar 7 tahap dalam membuat selembar batik, maka sangat pantas batik tulis dihargai hingga puluhan juta rupiah.
7 Tahap Membantik
Tahap pertama dalam membuat batik tulis adalah pengkhentelan yakni proses perendaman kain dalam campuran tumbuhan tertentu selama berhari-hari kemudian direbus.Â
Hasil proses ini disebut dengan primisima. Berlanjut pada proses kedua yakni menyorek. Prosesi ini biasanya dikerjakan kaum lelaki yang bertugas membuat disain di atas kain mori. Pola-pola atau motif digambar sesuai dengan disain yang diinginkan, dan disinilah membatik dimulai dengan gambar dasarnya.
Dalam proses nyanting juga ada tambahannya, yakni nembok. Nembok adalah memblok atau menutupi permukaan dan pori-pori kain dengan malam agar tidak ikut terwarnai saat pewarnaan dasar.Â
Nembok berguna saat nanti kain akan diberi warna lain atau motif lain. Nyanting dan nembok biasanya akan dilakukan bolak-balik agar saat proses pewarnaan tidak tembus.
Pada proses ini kain akan direbus yang berguna untuk melunturkan malam yang dilukis pada proses nyanting dan nembok. Saat nglorod kain batik sudah memiliki pola namun akan disempurnakan lagi dengan penambahan motif dan warna.
Proses pembuatan batik yang kenam dan tuju adalah nyanting dan nembok lalu nyelup dan kemudian nglorod, demikian seterusnya. Proses tersebut berlangsung 3 -- 4 kali. Proses yang paling lama dalam pembuatan batik adalah saat nyanting dan nembok karena memerlukan ketelitian dan ketekunan ekstra.
Wastra Nusantara
Selesai mendengarkan dongeng mbah Supi saya berpindah ke batik di Samping pon trembesi. Hari itu saya melihat banyak nenek-nenek duduk di dingklik sembari mencibirkan bibirnya untuk meniup canting. Tangan renta dan keriput masih lincah menarikan canting diatas pola-pola kain dan ada beberapa yang mengasir kain dengan malam cairnya.
Saya tidak berani bertanya "berapa pendapatan dari membatik", lantas saya pergi ke rumah batik tiga negeri. Lembaran kain batik cetak digital dihargai 150-250 ribu, sedangkan bati cap sedikit lebih mahal.Â
Yang membuat saya terkesima adalah batik tulisnya, ada yang harganya 14 juta rupiah. Konon para kolektor banyak yang memburu batik-batik seharga puluhan juta rupiah ini.
Salah satu yang tidak ada dibatik lainnya dari batik lasem adalah warna merah. Batik lasem memiliki warna merah yang jarang ditemukan batik lainnya yang biasanya berwarna hitam dan cokelat. Warna merah batik lasem konon berasal dari kulit mengkudu atau manggis.
Batik lasem hanyalah satu titik dari ambatik-ambatik di Nusantara. Wastra Nusantara menjadi salah satu warisan budaya dan alkulturasi budaya yang multi etnis, filosofi, dan seni. Sebagai warisan budaya, sudah selayaknya kita mengapresiasi wastra ini, bagaimana dengan penulisnya yang semakin renta? Selamat Hari Batik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H