Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Titik Api Terakhir Kebakaran Gunung Merbabu

1 Oktober 2019   10:15 Diperbarui: 2 Oktober 2019   07:37 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dengan bekal 5 liter air, relawan membantu pemadaman kebakaran hutan di Gunung Merbabu| Dokumentasi pribadi

Menjelang petang tetiba ponsel menunjukan notifikasi pesan berbunyi "besok kosong, bantu pemadaman dan bawa alat panjat, saya jemput pukul 7 pagi". Saya mengiyakan, dan pukul 06.30 sudah dijemput lalu berangkatlah ke lereng timur Gunung Merbabu.

Sudah 2 hari petugas dari Taman Nasional Gunung Merbabu dan relawan berkemah di lereng timur Gunung Merbabu. Ada 2 titik api di bukit sebelah yang harus dipadamkan, namun apa daya ada sebuah jurang sedalam 50 meter membatasinya. 

Jika harus memutar akan banyak membuang tenaga dan tidak ada jaminan mendapat jalan yang baik, pilihan terakhir adalah turun ke jurang.

Gunung Merbabu sudah ratusan hektar terbakar. Sebagian besar yang terbakar adalah kawasan dengan padang rumput atau sabana di atas ketinggian 2.000 m dpl. Mungkin sekitar 700 hektar, bisa juga lebih. Kali ini yang menjadi ancaman adalah kawasan hutan.

Peta titik lokasi kebakaran yang berada di kawasan hutan Gunung Merbabu| Dokumentasi pribadi
Peta titik lokasi kebakaran yang berada di kawasan hutan Gunung Merbabu| Dokumentasi pribadi
Sepintas saya memerhatikan peta yang saya bawa saat mendaki Gunung Merbabu dengan ransel berisi peralatan panjat tebing. Peta menunjukan lereng timur Merbabu yang ditengari terdapat titik api adalah kawasan hutan. Jika hutan ini terbakar makan akan menjadi permasalahan serius.

Hutan Gunung Merbabu yang kini semakin menyempit menjadi rumah terakhir bagi fauna endemik yang ada di sana. Elang Jawa beberapa kali ditemukan, ada yang mengatakan masih ada harimau, ada juga yang menemukan kijang. Yang pasti hewan-hewan tersebut tidak tinggal di sabana, namun di tepi hutan atau tengah hutan.

Mengawali pendakian sisi timur Gunung Merbabu| Dokumentasi pribadi
Mengawali pendakian sisi timur Gunung Merbabu| Dokumentasi pribadi
Pukul 08.00 kami sudah sampai di Desa Ngagrong, desa tertinggi di lereng timur Merbabu yang terletak di Kecamatan Ampel-Boyolali. Kami menyusuri jalan setapak melalui jalur pendakian Ngagrong yang kini masih dikategorikan ilegal. Jalur ini mulanya digunakan warga untuk mencari sumber air dan memasang pipa.

Kami mengontak petugas yang sudah ada di lapangan yang berkemah di pos 2. Mungkin kata warga setempat butuh waktu sekitar 2 jam perjalanan untuk mencapai lokasi tersebut. Tidak ada waktu lagi, karena kita berpacu dengan api.

Hutan-hutan primer kami masuki. Pohon-pohon besar nampak masih berdiri dengan kokoh. Kanopi hutan yang rapat membuat kami merasa nyaman berjalan. Pikiran saya, bagaimana jika hutan ini terbakar?

Bergegas kami segera menuju pos 2 dan sekitar pukul 10.00 kami sampai di lokasi. Petugas yang ada di sana memersilakan kami untuk istirahat dan mengisi tenaga kami yang sudah terkuras. 

Sembari istirahat dan makan, kami menyusun strategi dalam operasi pemadaman ini. Disepakati akan menurunkan 6 personil untuk kegiatan ini sedangkan sisanya berjaga dan memantau dari berbagai sisi.

Pukul 11.00 kami bergerak ditepi jurang. Saya segera mengeluarkan peralatan seperti; tali, pita webbing, karabiner, deskender, ascender, dan seat harness, serta tidak lupa helm. Semua peralatan sudah tertata, kemudian segera masang jangkar penambat di sebuah pohon.

Saya menjadi orang pertama yang turun untuk membuat lintasan. Menjadi orang pertama sebuah kehormatan dan tanggung jawab besar agar nantinya bisa menurunkan rekan-rekan yang lain. Tugas saya adalah membuka lintasan dan memilih jalur yang aman.

Hamparan jelatang yang menghambat kegiatan pemandaman| Dokumentasi pribadi
Hamparan jelatang yang menghambat kegiatan pemandaman| Dokumentasi pribadi
Sial, di tengah perjalan saya harus berhenti. Punggung dan lengan saya terasa panas dan gatal. Benar saja di belakang saya terhampar dan rimbun tumbuhan jelatang (Laportea sp). Tumbuhan ini dikenal dengan poison leave atau tumbuhan penyengat. 

Jarum-jarum kecil di daunnya jika terkena kulit akan menimbulkan sensasi gatal teramat sangat dan panas. Bagi yang sangat sensitif, kulit akan bentol-bentol dan sangat gatal serta terasa panas.

Kami diijinkan untuk membabat hutan guna membuka akses ke lokasi | Dokumentasi pribadi
Kami diijinkan untuk membabat hutan guna membuka akses ke lokasi | Dokumentasi pribadi
Saya bergerak pelan sembari menjejakan kaki untuk merubuhkan tumbuhan gatal ini. Dengan radio HT saya mengabarkan orang kedua untuk turun membawa parang untuk membabat jelatang ini. Akhirnya semua bisa turun dan selamat meskipun mereka harus garuk-garuk.

Segera kami menuju titik api. Kami terhalang oleh rapatnya semak belukar Cromolaena odorata yang tinggi dan kering. Bisa saja semak ini terbakar dan kami bisa celaka karenanya. Kami menerobos semakin masuk sembari mendengarkan instruksi dari atas melalui radio HT.

Proses pemadaman api.| Dokumentasi pribadi
Proses pemadaman api.| Dokumentasi pribadi
Akhirnya kami menemukan titik api yang masih menyala. Benar saja api masih berkobar dan segera kami berupaya untuk memadamkan. Yang pertama kami lakukan adalah melokalisir api agar tidak menyebar, yakni dengam membabat bahan yang mudah terbakar. 

Langkah yang kedua adalah memadamkan api dengan cara memukul dengan menggunakan batang berdaun. Ada cara yang lebih mudah yakni dengan menimbun dengan tanah. Sekop portabel yang kami bawa sangat efektif untuk menghajar api.

Sesaat api akan padam saat tidak lagi ada kontak dengan udara gegara ditimbun dengan tanah. Dengan demikian kami bisa mengambil langkah berikutnya yakni tidak ada lagi bara api yang nantinya bisa menyulut api kembali.

Menyemprotkan air pada titik api agar memastikan api benar-benar padam| Dokumentasi pribadi
Menyemprotkan air pada titik api agar memastikan api benar-benar padam| Dokumentasi pribadi
Untuk mematikan bara api yang biasanya terdapat di kayu-kayu yang sudah lapuk dapat dengan menggunakan air. Masing-masing dari kami dibekali air dalam jeriken sebanyak 5 liter. Dengan botol air mineral yang tutupnya sudah diberi lubang kacil kami gunakan untuk menyemprot agar tetap sasaran daripada diguyur.

Di lokasi kebakaran ternyata tidak hanya 2 titik seperti yang terlihat dari jauh. Lebih dari 6 titik yang kami temukan. Asap tebal kadang membuat mata kami pedih dan nafas tersengal-sengal serta debu abu yang membuat batuk. 

Saya yang sebenarnya mendapat tugas hanya menghantar rekan-rekan turun di tebing mencoba membantu sebisa yang saya bisa lakukan.

Relawan yang tertidur kelelahan | Dokumentasi pribadi
Relawan yang tertidur kelelahan | Dokumentasi pribadi
Di atas tonggak kayu yang masih hangat saya berdiam memandangi lereng bukit yang berwarna abu-abu. Beberapa rekan dengan pakaian merah mudah tak henti-hentinya berkelahi dengan api. 

Meskipun beberapa kali ikut dalam operasi pemadalam kebakaran hutan, namuk kali ini yang paling susah. Lereng yang curam dan dikelilingi semak belukar kering bisa memanggang kami hidup-hidup.

Pikiran saya melayang, apa penyebab kebakaran ini selain api. Dahulu saya pernah bereksperimen untuk membakar hutan. Puntung rokok menyala saya lempar di semak-semak kering, bahkan sudah ada minyak tanahnya waktu itu. Nyala, tidak hanya berasa saja meskipun saya tiup berkali-kali. 

Percobaan saya pertama gagal. Kedua saya mengesekan kayu kering berharap seperti suku Indian membuat api, malah membuat saya emosi karena hanya lelah yang didapat tanpa ada asap. 

Nunggu petir sepertinya mustahil. Lalu iseng membuat cermin dari bekas kalem siapa tahu bisa memantulkan cahaya matahari dan membakar seperti prinsip cermin cekung, gagal. 

Saya coba dengan botol air mineral untuk lensa cembung, gagal juga. Opsi terakhir adalah dengan korek, saya yakin berhasil namun tidak saya lakukan. Silakan simpulkan sendiri.

"Woi.. turun sudah beres.." teriak rekan saya. Saya melihat arloji sudah pukul 16.00. 

Dari ketinggian 1957 m dpl kami kembali memanjat tali setinggi 50 m. Dengan tenaga tersisa kami bisa menuntaskan operasi ini dan kembali turun gunung dengan kaki sempoyongan. 

Wajah kami yang sudah hitam arang menjadi kenangan, pernah ikut menjaga hutan. "Ini titik api terakhir yang kami padamkan dan yang paling sulit, dengan demikian selesai sudah Merbabu terbakar" kata petugas Taman Nasional Gunung Merbabu.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun