Truk-truk nampak tergopoh-gopoh memasuki dermaga. Di sisi lain katrol dari KM Perintis melambai-lambai menguras isi palka. Seorang wanita paruh baya dengan gesit menggoreskan kuas bernodakan cat minyak ke tandan pisang. Suasana pagi di Pelabuhan Malakoni, di Pulau Enggano.
Jauh-jauh hari saya mencoba mencari literatur tentang pulau yang terleletak di Barat Daya Indonesia. Pulau yang berarti menipu ini adalah salah satu pulau terluar di Indonesia. Orang Portugis menyebut pulau ini dengan nama Enggano, gegara mereka salah mendarat. Lantas apa yang saya cari di literatur pulau ini? Pisang
Pisang Pulau Enggano
Enggano terkenal dengan komoditi pisang kepoknya. Sebenarnya pisang adalah barang baru di Enggano, meskipun ada pisang lokal di sana. Pisang kepok awalnya dibawa dan ditanam oleh suku Bugis sekitar tahun 2005. Sejak itulah masyarakat rame-rame menanam pisang, maka penuhlah enggano dengan pisang.
Ada yang manarik dari komoditi pisang di Enggano. Secara perekonomian bisa memberikan manfaatan pendapatan finansial. Bagaimana tidak, di sana pisang (dalam tandan) dihargai Rp 3000,00 per kilo gramnya. Dalam satu pengiriman minimal 3 ton, bahkan ada yang sampai 15 ton pisang mentah. Pisang-pisang tersebut kemudian akan diangkut dengan menggunakan KM Perintis, atau Ferry.
Puluhan ton pisang tidak akan terangkut dan bisa masak bersamaan. Alhasil akan menjadi sampah pisang di Pelabuhan. Kejadin ini marak terjadi saat ombak laut tidak bersahabat dan kapal harus sandar.
Pisang dan Lingkungan
Secara ekologi, pisang memberikan dampak terhadap alih fungsi lahan. Lahan yang semula hutan kini menjadi Nikaragua kecil, dimana isinia pisang semua. Tanaman yang heterogen menjadi homogen.
Sisi lain, populasi burung kakatua meningkat karena tersedianya sumber makanan yakni buah. Kakaktua di Enggano adalah spesies burung yang dilindungi sekaligus menjadi hama ladang pisang, karena suka mencuri pisang masak pohon.
Pisang yang sudah agak matang dikukus sekitar 15 - 20 menit bersama kulitnya. Setelah agak dingin kemudian dikupas kulitnya lalu buah pisang dibelah menjadi 2 bagian. Wadah dari plastik yang sudah diberi alas daun pisang yang sudah bersih menjadi tempat untuk memeram.
Pisang diberi taburan ragi tape lalu ditata dengan rapi di wadah plastik lalu ditutup dengan daun pisang dan ditutup kembali dengan tutup wadah plastik. Pisang diperam sekitar 2 -3 hari.
Setelah masa pemeraman usai, saatnya panen tiba. Saya membuka pelan-pelan dan langsung menyeruak aroma tape/alkohol. Pisang yang sebelumnya keras menjadi lembek dan empuk. Benar saja, ragi tape dari jamur Rhizopus oryza bekerja dengan baik.
Jamur Rhizopus oryzae akan menghasilkan sejumlah enzim yang nantinya bisa merombak selulosa dan pati pada pisang menjadi alkohol pada saat pemeraman/fermentasi. Biokonversi tersebut yang membuat membuat tape menjadi lunak dan berasa manis dan asam.
Usai menikmati tape pisang kepok lalu saya menceritakan eksperimen saya ini pada beberapa warga. Nampak ada beberapa yang tertarik dan meminta ragi tape.
Saya hanya berpesan, silakan dibuat tape asal nanti jangan dibuat mabuk tape. Bagaimana tidak, cairan hasil fermentasi bisa menjadi minuman keras, jika di Jepang disebut dengan sake, di jawa dengan tuak, saya kawatir ada sake atau tuak pisang nantinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H