Dari Pemenang terus ke JambiÂ
Singgah menginap do PelawanÂ
Ada mas Dhanang dan mas AndiÂ
Ditemani oleh Pak Irawan
Gegara pantun di atas membuat saya menghilangkan kejengkelan hari ini. Bagaimana tidak, gegara dia kami hampir saja celaka. Badan ini bisa terhempas di atas batu gamping dari ketinggian 12 meter. Kisah yang nantinya akan kami ulangi, tentu saja dengan membawa seperangkat alat safety.
Kisah Pelakon Gua
Speology, sebuah ilmu tentang penelusuran gua. Di Indonesia sudah berbang sejak awal tahun 80-an hingga saat ini. Tidak banyak yang meminati ilmu dan aktivitas ini, karena identik dengan kegelapan abadi dan risiko yang tidak kecil.
Hari ini, saya tidak ada pilihan untuk kembali masuk gua. Pilihan pertama adalah menunggu di luar ditemani oleh lintah-lintah yang haus darah, pilihan kedua harus masuk gua vertikal. Pilihan yang serba sulit dan saya memilih untuk masuk dalam perut bumi.
Masuk Gua Kedundung
"Hati-hati ya mas", kata-kata yang membuat saya takut dan jengkel. Kata-kata tersebut artinya adalah jalan yang sulit dan berbahaya. Kita yang awam dengan gua, sedangkan dia sudah puluhan tahun mengenal seluk beluk gua.
Saya beberapa kali untuk obeservasi dimana mana batu dan pijakan yang dipakai Pak Irawan tadi. Mungkin hampir 2-3 menit saya baru sampai di bawah. Keringat mengucur deras, menandakan betapa tertekannya saya dengan medan yang hampir vertikal ini. Di bawah dia hanya terkekeh sembari mengepulkan asap dari rokok filternya. Sesekali dia juga bernyanyi lagu daerah Jambi, tanpa peduli rasa takut kami.
Kini giliran Mas Andi. Dia lebih berpikir 2 kali, karena memutuskan mengeluarkan webbing sepanjang 4-6 m untuk dijadikan pegangan turun. Pak Irawan hanya berucap "hati-hati mas Andi" lalu kembali bernyanyi.
Pelan-pelan kami berjalan sembari jongkok. Sekitar 20 meter kami berjalan layaknya tentara telat upacara yang harus ditebus dengan jalan mirip kata. Ternyata benar. Di dalam terdapat lorong yang panjang dan penuh dengan ornamen gua.
Suara deburan air yang terdengar, ternyata kepak ratusan sayap kelelawar yang gusar karena kedatangan cahaya dari lampu kepala kami. Saya hanya bisa melihat kagum melihat mamalia ini terbang di atas kami dalam jumlah yang banyak. "jangan lihat ke atas, nanti ada yang berak" kata Pak Irawan.
Beberapa kali tangan ini harus merayap di dinding gua dan seketika itu guano/tahi kelelawar menempel di telapak tangan. Rasa jijik sirna saat itu, mungkin hanya pantat celana yang menjadi lap.Â
Akhirnya perjalana berakhir di sebuah lorong besar yang penuh dengan jangkrik gua. Jangkrik yang panjang antenanya luar biasa adalah organisme gua yang hidup di kegelapan abadi. Di titik ini kami berhenti sembari melihat monster kecil berkaki panjang.
Hampir 1 jam lebih kami berada di dalam lorong gua. Saatnya kami kembali ke permukaan. Penderitaan harus kami jalani kembali, yakni naik vertikal 12 meter ke mulut gua. Kali ini, memanjat jauh lebih mudah dari pada turun. Dan kami bertiga sampai dengan selamat di mulut gua. Sembari kami menikmati santap siang, dia kembali membuat kami emosi. "Saya terakhir ke gua ini 15 tahun yang lalu dan agak lupa jalan-jalannya, untung tadi kita selamat ya".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H