Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Wangi Cendana yang Semakin Langka

22 November 2016   09:57 Diperbarui: 22 November 2016   12:47 823
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pohon cendana di halaman kantor tempat saya bekerja (dok.pri).

Adu mulut tepat di depan sinar X di bandara Juanda-Surabaya terjadi antara saya dan petugas. Saat itu petugas melarang saya membawa potongan kayu dalam kabin dan harus masuk dalam bagasi pesawat. Dalam benak saya, "Jangan sampai disita petugas bandara, bisa tekor saya". Akhirnya kayu tersebut sampai rumah dengan selamat, dan tak berselang lama sudah menjadi abu karena ada yang mengira kayu bakar. Sandalwood atau kayu cendana (Santalum album) yang saya dapatkan dari Soe-Nusa Tenggara Timur kini keharumannya sudah musnah kabur dibawa angin seiring dengan sejarah panjangnya.

Pada abad ke-3 masehi, Pulau Timor sudah ramai akan perdagangan khusunya kayu cendana. Kayu endmik yang hanya tumbuh di Pulau Sumba, Timor dan Flores sisi timur ini menjadi incaran pedagang dari Tiongkok dan Arab. Begitu digandrunginya keharuman kayu ini, maka pada abad ke-17 datanglah bangsa Eropa yakni Portugis dan Belanda. Kedatangan bangsa Eropa ini menyulut pertikaian antar pedagang dari Makasar, Tiongkok, Arab, dan Jawa untuk memperebutkan cendana.

Begitu tenarnya keharuman cendana, acapkali menjadi perebutan hingga pertumpahan darah. Untuk meredam pertikaian ini maka dibuatlah Perjanjian Bima pada 18 Januar 1675 antara Gubernur Jendral Maetijker dengan Sultan Bima. Perjanjian tersebut berisi "...bahwa kompeni Belanda bersedia membayar 12 ringgit untuk tiap bahar dari 4 pikul. Tiap bahar berisi 16 potong teras pohon cendana".

Santalum Album (Sumber: http://lustigleben.de/sandelholz/)
Santalum Album (Sumber: http://lustigleben.de/sandelholz/)
Jauh sebelum Perjanjian Bima, masyarakat adat sudah membuat perjanjian adat yang disebut dengan Banu Haumeni. Perjanjian tersebut berisi tentang denda adat buat mereka yang merusak atau mencuri pohon cendana yang sudah siap panen. Denda yang harus dibayar oleh pelaku adalah kerbau atau babi. Perjanjian ini tidak semata-mata pengatur perusakan dan pencurian kayu cendana, tetapi juga mengatur tentang usia tebangnya juga.

Cendana sebagai komoditi utama dengan harga selangit menjadikan kayu ini menjadi primadona. Para penguasa waktu itu benar-benar ingin memonopoli perdagangan cendana. VOC pada waktu itu tegas membuat aturan tentang retribusi penjualan cendana yakni 2/3 diberikan pada pemerintah Hindia Belanda dan 1/3 untuk para raja. Pasca kemerdekaan Indonesia, cendana tidak lepas dari penguasaan. Perda Nomor 4 tahun 1953 tentang kayu cendana mengatakan, "semua kayu cendana dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah daerah Timor". Lambat laun perda tersebut dirubah, tidak hanya pemerintah saja yang mendapat tetapi juga rakyat dari 15% hingga 50% dan saat ini cendana sudah dikembalikan pada rakyat tetapi harus mendapat ijin dari pemerintah untuk penebangan dan distribusinya.

Skema biosintesis santanol dan bergamotol dari cendana (Sumber: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3854609/)
Skema biosintesis santanol dan bergamotol dari cendana (Sumber: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3854609/)
Seistimewa itukah cendana dan apa istimewanya. Dalam jurnal NCBI (National Center for Biotechnology Information) mengatakan jika cendana adalah salah satu minyak esensial paling berharga di Dunia sebagai parfum tingkat atas. Aroma harum cendana di hasilkan oleh senyawa santalol dan bergamotol yang dihasilkan dari ekraksi atau penyulingan. Ada empat senyawa yang menyusun 90% aroma wangi cendana, yakni; α-, β-, dan epi-β-santalol dan α-exo-bergamotol.

Wanginya cendana, mungkin saat ini hanya akan tinggal kisah. Saat saya mengunjungi Pulau Timor sangat susah menemukan kayu cendana, jikapun itu ada usianya masih sangat muda dan belum bisa dipanen. Suatu hari saya diajak ke hutan di daerah Soe oleh Pak Yanto selaku kepala dusun. Dia mengajak saya masuk dalam hutan larangan yang oleh masyarakat setempat penduduk dilarang mengambil apapu dari hutan tersebut, termasuk berburu. Hutan tersebut milik desa yang dikelola dan dijaga oleh kepala dusun, jika di jawa mungkin bengkok yang tidak boleh diganggu gugat.

GPS saya menunjukan kita sudah lebih dari 6 Km masuk hutan sembari menyusuri tepian sungai Noel Leke yang mengering akibat musim kemarau. Tetiba Pak Yanto mengeluarkan parangnya dan dengan ganas dia memotong sebuah batang kayu. "Ini mas kayu cendana, saya tunjukkan," katanya. Dia memotong batang kayu tersebut lalu mengupasnya. Sesaat saya mencoba mencium aroma wanginya yang terasa samar. Serpihan potongan atau tatal saya coba bakar agar mengeluarkan aroma harum. Lantas Pak Yanto memberikan saya sebatang kayu kecil yang sudah dikupasnya yang berakhir menjadi kayu bakar saat tiba di Jawa, sepertinya berbuah karma. Saya menyadari tindakan tersebut adalah pelanggaran hukum, tetapi Pak Yanto menjelaskan jika cendana ini tumbuh liar di sini, dia dan orang tuanya yang merawat.

Rasanya sungkan menerima potongan kecil kayu yang sangat berharga ini, tetapi sebagai wujud penghargaan maka saya menerima. Kemudian saya diajak masuk lebih dalam, dan benar saja masih ada harta karun di sana. Kebetulan ditempat kerja saya saat ini dengan mudah saya menemukan pohon cendana dengan cukup melongokkan kepala dari jendela di samping meja kerja saya. Konon cendana ini sudah berusia hampir 10 tahun, tetapi masih kecil ukurannya dan tahu alasannya mengapa baru bisa dipanen saat usianya 40-50 tahun.

Pohon cendana di halaman kantor tempat saya bekerja (dok.pri).
Pohon cendana di halaman kantor tempat saya bekerja (dok.pri).
Saat ini sangat susah menemukan kayu cendana yang benar-benar siap panen. Data dari Dinas Kehutanan NTT mengatakan jika tahun 1998 di kabupaten Timor Tengah Selatan yang saya kunjungi ada 16.968 pohon induk dan 95.742 anakan, sangat berkurang drastis sebab pada tahun 1987-1990 ada 80.651 pohon induk dan 193.365 anakan. Begitu juga dengan kabupaten lain yang diwujudkan dalam angka dan penurunan sekitar 50-60%. Bisa dibayangkan jaman dahulu betapa Pulau Timor penuh dengan hutan cendana.

Dalam perkembangan teknologi biologi molekuler, pembentukan senyawa wewangian dalam cendana di kode oleh 9 gen yang berperan. Sebanyak 9 gen tersebut telah diuji cobakan pada ragi untuk pembentukan senyawa santalene/bergamotene. Untuk ke depannya, dengan aplikasi biologi molekuler ini bisa menekan ekploitasi cendana, tetapi efek dominonya adalah guncangan nilai ekonomi pasar. Persoalan selanjutnya siapa yang diuntungkan, jelas kaum kapitalis dan penguasa yang seperti dulu saat menguasai cendana. Rakyat mungkin tak akan berubah posisinya dari jaman raja-raja, kolonial, hingga era teknologi. Harumnya cendana yang tidak tercium kaum papa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun