Adu mulut tepat di depan sinar X di bandara Juanda-Surabaya terjadi antara saya dan petugas. Saat itu petugas melarang saya membawa potongan kayu dalam kabin dan harus masuk dalam bagasi pesawat. Dalam benak saya, "Jangan sampai disita petugas bandara, bisa tekor saya". Akhirnya kayu tersebut sampai rumah dengan selamat, dan tak berselang lama sudah menjadi abu karena ada yang mengira kayu bakar. Sandalwood atau kayu cendana (Santalum album) yang saya dapatkan dari Soe-Nusa Tenggara Timur kini keharumannya sudah musnah kabur dibawa angin seiring dengan sejarah panjangnya.
Pada abad ke-3 masehi, Pulau Timor sudah ramai akan perdagangan khusunya kayu cendana. Kayu endmik yang hanya tumbuh di Pulau Sumba, Timor dan Flores sisi timur ini menjadi incaran pedagang dari Tiongkok dan Arab. Begitu digandrunginya keharuman kayu ini, maka pada abad ke-17 datanglah bangsa Eropa yakni Portugis dan Belanda. Kedatangan bangsa Eropa ini menyulut pertikaian antar pedagang dari Makasar, Tiongkok, Arab, dan Jawa untuk memperebutkan cendana.
Begitu tenarnya keharuman cendana, acapkali menjadi perebutan hingga pertumpahan darah. Untuk meredam pertikaian ini maka dibuatlah Perjanjian Bima pada 18 Januar 1675 antara Gubernur Jendral Maetijker dengan Sultan Bima. Perjanjian tersebut berisi "...bahwa kompeni Belanda bersedia membayar 12 ringgit untuk tiap bahar dari 4 pikul. Tiap bahar berisi 16 potong teras pohon cendana".
Cendana sebagai komoditi utama dengan harga selangit menjadikan kayu ini menjadi primadona. Para penguasa waktu itu benar-benar ingin memonopoli perdagangan cendana. VOC pada waktu itu tegas membuat aturan tentang retribusi penjualan cendana yakni 2/3 diberikan pada pemerintah Hindia Belanda dan 1/3 untuk para raja. Pasca kemerdekaan Indonesia, cendana tidak lepas dari penguasaan. Perda Nomor 4 tahun 1953 tentang kayu cendana mengatakan, "semua kayu cendana dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah daerah Timor". Lambat laun perda tersebut dirubah, tidak hanya pemerintah saja yang mendapat tetapi juga rakyat dari 15% hingga 50% dan saat ini cendana sudah dikembalikan pada rakyat tetapi harus mendapat ijin dari pemerintah untuk penebangan dan distribusinya.
Wanginya cendana, mungkin saat ini hanya akan tinggal kisah. Saat saya mengunjungi Pulau Timor sangat susah menemukan kayu cendana, jikapun itu ada usianya masih sangat muda dan belum bisa dipanen. Suatu hari saya diajak ke hutan di daerah Soe oleh Pak Yanto selaku kepala dusun. Dia mengajak saya masuk dalam hutan larangan yang oleh masyarakat setempat penduduk dilarang mengambil apapu dari hutan tersebut, termasuk berburu. Hutan tersebut milik desa yang dikelola dan dijaga oleh kepala dusun, jika di jawa mungkin bengkok yang tidak boleh diganggu gugat.
GPS saya menunjukan kita sudah lebih dari 6 Km masuk hutan sembari menyusuri tepian sungai Noel Leke yang mengering akibat musim kemarau. Tetiba Pak Yanto mengeluarkan parangnya dan dengan ganas dia memotong sebuah batang kayu. "Ini mas kayu cendana, saya tunjukkan," katanya. Dia memotong batang kayu tersebut lalu mengupasnya. Sesaat saya mencoba mencium aroma wanginya yang terasa samar. Serpihan potongan atau tatal saya coba bakar agar mengeluarkan aroma harum. Lantas Pak Yanto memberikan saya sebatang kayu kecil yang sudah dikupasnya yang berakhir menjadi kayu bakar saat tiba di Jawa, sepertinya berbuah karma. Saya menyadari tindakan tersebut adalah pelanggaran hukum, tetapi Pak Yanto menjelaskan jika cendana ini tumbuh liar di sini, dia dan orang tuanya yang merawat.
Rasanya sungkan menerima potongan kecil kayu yang sangat berharga ini, tetapi sebagai wujud penghargaan maka saya menerima. Kemudian saya diajak masuk lebih dalam, dan benar saja masih ada harta karun di sana. Kebetulan ditempat kerja saya saat ini dengan mudah saya menemukan pohon cendana dengan cukup melongokkan kepala dari jendela di samping meja kerja saya. Konon cendana ini sudah berusia hampir 10 tahun, tetapi masih kecil ukurannya dan tahu alasannya mengapa baru bisa dipanen saat usianya 40-50 tahun.
Dalam perkembangan teknologi biologi molekuler, pembentukan senyawa wewangian dalam cendana di kode oleh 9 gen yang berperan. Sebanyak 9 gen tersebut telah diuji cobakan pada ragi untuk pembentukan senyawa santalene/bergamotene. Untuk ke depannya, dengan aplikasi biologi molekuler ini bisa menekan ekploitasi cendana, tetapi efek dominonya adalah guncangan nilai ekonomi pasar. Persoalan selanjutnya siapa yang diuntungkan, jelas kaum kapitalis dan penguasa yang seperti dulu saat menguasai cendana. Rakyat mungkin tak akan berubah posisinya dari jaman raja-raja, kolonial, hingga era teknologi. Harumnya cendana yang tidak tercium kaum papa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI