Sepertinya saya sedang berkhayal melihat sebuah lorong dibalik air terjun. Descendeur yang mengamankan tubuh saya saat turun saya kunci agar tidak turun agar saya bisa leluasa melihat lorang tersebut. Di dalam lorong tersebut terdapat sebuah pelataran dan batu yang berundak-undak. Lorong tersebut mirip sebuah ruangan dengan tirai hempasan air terjuan. Salam, itu yang saya ucapkan ketika hendak mendekati ruangan itu. Saya hanya mengira, tempat ini digunakan untuk menepi atau bertapa. Saya tidak akan masuk terlalu dalam karena tujuan saya bukan untuk itu.
Perlahan saya memberikan instruksi teman saya ntuk berhati-hati saat sampai mulut lorong. Akhirnya satu persatu kamu sudah sampai dibawah dan usai sudah canyoning hari ini. Sebuah air terjun yang aliran airnya mirip hujan menyambut kami. Kami berada di dasar lembah atau jurang yang di atas kami adalah sungai-sungai kecil yang mengalirkan air. Dinding tebing yang penuh dengan tumbuhan nampak eksotis manakala hujan dari air terjun menghujam ke bawah. Kali ini mungkin kami cocok memakai payung daripada dimahari gegara hujan-hujanan dibawah jurang.
[caption id="attachment_412392" align="aligncenter" width="600" caption="Tetesan air ini bukanlah hujan tetapi dari atas lembah yang mengalirkan air dan menjadi air terjun (dok.pri)."]
Sebuah perjalan dengan segala tingkat resikonya bisa diminimalisir dengan persiapan, latihan dan perhitungan yang matang. Hanya satu yang terlewat dari kami, yakni banyaknya tumbuhan daun penyengat yakni jelatang (Laportea crenulata). Jika kulit ini tersentuh rambut-rambut halus di permukaan daunnya akan terasa gatal dan panas, terlebih jika terkena air. Kami menikmati rasa ini hingga dibeberapa bagian tubuh kami ada yang bengkak, namun itulah kisah yang sebenarnya tidak perlu saya ceritakan tetapi cukup dinikmati saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H