[caption id="attachment_410694" align="alignnone" width="640" caption="Seorang pedagang Paniki/kelelawar-Kalong sedang memilah antara badan dan sayap. Di Tomohon Paniki menjadi menu yang banyak dicari untuk daging konsumsi (dok.pri)."][/caption]
Dalam kabin pesawat yang menerbangkan saya menuju Manado saya satu deret kursi dengan orang India. Dia nampak gusar manakala pramugari menyodorkan makanan. Dengan bahasa Inggris aksen india dia bertanya apakah makanan ini mengandung daging, karena dia seorang vegetarian. Pramugari berbalik muka kepada saya "mas bisa dicobain apakah ada dagingnya..?" tanya dia kepada saya. "No problem sir, you can eat now" balas saya usai menggigit ujung resoles sambil menunjukan potongan kentang dan wortel. "sir sorry, you can't eat, i'm found a beef" cegah saya dan sekekita itu dia memilih roti cokelat. Berbicara vegeratian, sungguh sangat kontras, dengan majalah yang saya baca dengan judul Tomohon.
[caption id="attachment_410696" align="alignnone" width="640" caption="Pagi ini saya terbang menuju Sulawesi utara tepatnya hendak menuju Tomohon. Kebetulan di kabin pesawat disedikan majalah yang mengulas Tomohon (dok.pri)."]
Tomohon sebuah kota di Sulawesi utara berjarak 25 km dari Manado. Kota yang sudah lama menjadi incaran saya dalam travelling. Keindahan Tomohan bisa tak diragukan lagi, karena memiliki lansekap yang eksotik. Gunung Lokon salah satu gunung berapa yang masih aktif sampai saat ini setiap saat bisa mengeluarkan kepulan asap solfatara dan debu vulkanik. Nan jauh di sana, terlihat gunung Soputan yang terus saja berasap. Di balik bentang alamnya yang mengerikan karena berada di zona bahaya letusan gunung, ternyata lebih mengerikan lagi dari kulinernya.
[caption id="attachment_410697" align="alignnone" width="640" caption="Tikus hutan yang sudah di bakar lalu di tusuk mirip sate dan siap untuk dijual (dok.pri)."]
"semua yang berkaki bisa kami makan, kecuali kaki meja, semua yang menyelam bisa kami makan, kecuali kapal selam, dan hanya pesawat yang tak bisa kami makan dari semua yang bisa terbang" kata Ciko, sopir yang membawa saya ke Tomohon. Lelaki asal Manado menceritakan kuliner-kuliner tak lazim, yang mungkin hanya ada di Tomohon ditengah luasnya tanag celebes. "Hampir semua orang Tomohon mengonsumsi daging, sehingga hewan apa saja bisa dimakan, semua tergantung cara masak dan bumbunya" kembali Ciko menjelaskan dan membuat saya merinding.
Menjelang siang, pasar Tomohon berangsung mulai sepi. Namun, Ciko masih optimis bahwa di pasar di los daging masih banyak yang berjualan walau sudah mulai berkurang. Pelan-pelan kami menyusuri lorong-lorong pasar dan dari kejauhan terdengar gonggongan-gonggongan anjing. Tebakan saya benar, begitu melihat puluhan ekor anjing diterungku dalam kandang besi. Sejenak saya mengirimkan gambar anjing-anjing tersebut kepada teman di Jakarta yang anti anjing dijadikan bahan konsumsi. Sejenak itu pula darah tingginya naik begitu menerima gambar dari saya, dan saya mengerti betapa kontrasnya pemandangan ini.
[caption id="attachment_410699" align="alignnone" width="640" caption="Di dalam terungku, puluhan ekor anjing menanti untuk dijagal. Kadang pro dan kontra muncul di masyarakat berkaitan daging anjing tidak untuk dikonsumsi (dok.pri)."]
Saya teringat cerita teman bagaimana perbedaan budaya juga menjadi pembenda bagaimana memperlakukan binatang. Orang-orang Eropa datang ke beberapa restoran yang menyajikan menu dari burung biasanya akan langsung bereaksi. Di Eropa burung adalah bintang yang lucu, cantik, menggemaskan, sekaligus sahabat manusia dan tidak untuk dimakan, jika dibudaya kita mungkin kucing kesayangan. Lain kisah cerita dari teman yang belajar kuliner di luar negeri. Saat ujian dia dinyatakan tidak lulus gegara presentasinya tentang masakan daging anjing. Sebenarnya tidak ada masalah dengan masakan dan teknik memasaknya, namun masalahnya adalah proses bagaiama anjing yang masih hidup dijadikan daging.
Sebuah pemandangan yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Rasa dalam kepala sekaligus perut berasa campur aduk karena melihat darah, jajaran binatang yang sudah disembelih sekaligus aroma yang menyengat. Kepala pusing dan perut mual, benar-benar saya rasakan begitu berjalan menyusuri los daging menjual berbagai jenis daging. Ciko yang meliat muka air saya tersenyum simpul dan berkata "selamat datang di Tomohon, jangan mengaku ke Manado bila belum 4B; bunaken, bubur, bibir dan B1-B3".
[caption id="attachment_410703" align="alignnone" width="640" caption="Aning yang usai dijagal diletakan begitu saja sambil menunggu pembeli datang (dok.pri)."]
Tikus-tikus hutan yang sudah di tusuk dari ujung ekor hingga mulut terlihat seperti sate, karena bulu-bulunya sudah dibakar habis. Paniki atau kalong, yakni sejenis kelelawar pemakan buah sedang dipotong-potong memisahkan sayap dan badannya. Babi yang masih segar terlihat sudah terpisah antara kepala dan tubuh tambunnya. Ratusan ayam-ayam potong masih di dalam kandang dan menunggu pembeli untuk memilih sendiri. Yang membuat saya berkidik adalah ular piton yang sudah tidak ada isi perutnya terlihat masih utuh. Yang membuat saya tak tahan adalah 2 bangkai anjing yang baru saja dihabisi nyawanya dan diletakan bersebelahan krangkeng yang berisi puluhan anjing.
Binatang yang dijadikan konsumsi ini tidak semuanya berasalah dari Tomohon, tetapi dari beberaapa kabupaten di sekitar bahkan hingga dari Sulawesi Tengah. Tikus, kelelawar, kijang, babi hutan hingga ular adalah hasil buruan dari hutan-hutan sulawesi. Mungkin aneh, ada tikus yang bisa dimakan dan terkadang menjadi gunjingan, namun berbeda dengan di Tomohon. Di sini tikus yang dimaksud adalah tikus hutan yang tinggal di pohon, dan tidak seperti tikus-tikus yang tinggal dipemukiman penduduk. Disini sepertinya tidak terusik dengan isu bakso daging celeng atau tikus, kalaupun ada pasti ramai pembeli.
Lain ladang lain ilalang, lain lubuk lain ikannya, begitu juga dengan budaya kuliner di sini. Bagi tempat lain, konsumsi ular, tikus, atau binatang-binatang lain yang tidak lazim. Di Tomohon yang mayoritas penduduknya beragama Kristen adalah pengonsumsi daging yang kadang tidak dibatasi jenis-jenis daging apa saja yang bisa dimakan. Padahal, beberapa gereja seperti gereja adven melarang umatnya untuk mengonsumsi daging. Gereja ini memiliki aturan yang ketat berkaitan dengan tingkah laku umatnya terlebih dengan apa yang dimakannya. Jangankan daging, mengonsumsi masakan dengan kandungan MSG pun dilarang, begitu pula dengan minuman beralkohol.
[caption id="attachment_410705" align="alignnone" width="640" caption="Paniki yang sudah dipisahkan antara sayap dan badan, walau nampak mengerikan tetapi banyak yang mencarinya (dok.pri)."]
Kembali pada sebuah budaya memang jika disamakan dengan tempat lain pasti akan menimbulkan gesekan dan benturan. Memang benar pepatah mengatakan, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Mungkin ditempat lain aktivis yang kampanye "dog not food" sedang makan merpati goreng, di belahan lain ada kampanye "bird not food" begitu juga "animal not food". Semua kembali pada budaya dan keputusan masing-masing individu, dan semua tetap diberikan kesempatan untuk memilih keputusaan. "babi kecap di Tomohon ternyata enak juga" ledek teman saya, "enakan bubur manado" teman saya satunya menimpali, "enak mana sama bibir nona manado..?" kembali teman saya tak mau kalah dan saya hanya bisa berkata "paling enak Bunaken banyak B di sana...!" dan semua sepakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H