Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Argosari, Pesona Desa di Atas Awan

28 Oktober 2014   22:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:24 3295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_370008" align="alignnone" width="640" caption="Saat penduduk yang lain sudah pergi ke ladang, masiha ada yang sedang gegenen untuk menghangatkan tubuh di desa yang berketinggian 2.000mdpl (dok.pri)."][/caption]

Bangunan pura kecil yang berdiri di depan rumah, mengingatkan saya pada pulau Dewata padahal saat ini saya sedang berada di tanah Jawa. Sambil menahan hawa dingin, kaki saya melangkah di sebuah desa yang penduduknya 99% beragama hindu. Beberapa penduduk masih terlihat "gegenen" atau menghangatkan tubuh di perapian. Sarung adalah perlengkapan pakaian yang wajib dikenakan penduduk di sini untuk menghangatkan tubuh mereka. Sayapun penasaran lantas mengeluarkan GPS untuk mengetahui berapa ketinggian tempat ini. Batangan sinyal satelit dalam layar GPS muncul sempurna dan menunjukan ketinggian 1.999m lalu sedikit saya bergeser dan genap 2.000mpl. Inilah desa di atas awan, yakni desa Argosari di Lumajang-Jawa Timur.

Lereng-lereng curam dengan kemiringan hampir 80 derajat disulap menjadi lahan pertanian. Tanah yang subur, karena terletak tepat di dekat gunung bromo dan semeru menjadikan semua lahan di sekitarnya adalah tanah perjanjian untuk para petani. Saya tidak membayangkan bagaimana cara para petani mengolah di tanah dengan kemiringan yang ekstrim yang sisi miring puluhan hingga ratusan meter. Kengerian saya adalah saat ada yang terpeleset jatuh atau tanahnya longsor, namun pertanyaan saya dibantah oleh petani karena jarang orang yang jatuh atau tanah yang longsor.

[caption id="attachment_370009" align="alignnone" width="640" caption="Lereng curam ini disulap menjadi lahan pertanian yang subur. Petani tanpa takut dan ragu menggrapap lahan yang hampir tegak berdiri (dok.pri)."]

1414482576316254017
1414482576316254017
[/caption]

Sistem pertanian di lahan miring tidak seperti teras siring karena sudutnya terlalu besar. Saya berdiri di atas lalu melihat ke bawah kadang berpikir harus mengenakan seat harness dan tali pengaman. Para petani menjaga tanah agar tidak longsong yakni dengan membuat pola petak miring. tujuan pola ini adalah mengurangi kemiringan dan jika terjadi longsor mudah untuk ditahan. Manarik lagi adalah adanya sabuk pengaman dari longsor yakni dengan menanam tanaman keras dan perakaran yang kuat seperti pohon Cemara (Casuarina montana). Pohon-pohon cemara ini ditanama sejajar secara horisontal dan akan menjadi pengaman dari longosoran di atasnya dan menjadi penahan tanah yang kuar karena perakarannya yang dalam dan menyebar.

[caption id="attachment_370010" align="alignnone" width="640" caption="Pohon cemara inilah yang yang mampu mengikat tanah agar tidak longsor dan menjadi benteng yang kokoh di lahar miring (dok.pri)."]

1414482667351041710
1414482667351041710
[/caption]

Kekaguman saya akan pertanian di sini belum habis manakala melihat kaum perempuan sedang menyiangi rumput yang tumbuh di sela-sela daun bawang. Dari kejauhan saya hanya bisa melihat cara mereka berjalan, membungkukan badan, dan berpijak. Salah sedikit saja bisa menjadi sebuah bencana buat mereka karena akan berguling puluhan meter hingga membentur sabuk pengaman batang cemara. Mereka berjalan secara horisontal miring dengan pola zig zag, mirip pelajaran IPA topik bidang miring.

Tak terasa lamunan saya di lahan pertanian menjadi buyar manakala ajakan sarapan di rumah bapak kepala desar mampir di telinga saya. Pak Ismail adalah lurah terpilih di desa Argosari dengan tampilan yang kalem mengajak saya dan rekan-rekan menuju dapur. Inilah istimewanya desa Argosari, manakala tamu tidak di ajak di ruang tamu tetapi dapur. Suasana udara yang dingin maka perapian dapur yang hangat adalah pilihannya. Orang di Argosari memiliki kebudayaan yang tak jauh berbeda dengan suku Tengger di gunung Bromo. Area berkumpul adalah dapur, sedangkan ruang tamu hanya untuk acara resmi saja, bahkan ruang keluarga juga disulap mirip dapur yakni dengkap dengan tungku dan peralatan dapur.

[caption id="attachment_370011" align="alignnone" width="640" caption="Suasana dapur yang hangat menjadi tempat berkumpul yang nikmat. Pagi ini kami sarapan dirumah pak Ismail kades Argosari (dok.pri)."]

14144827671000285283
14144827671000285283
[/caption]

Sarapan pagi ini adalah nasi putih, kentang goreng, ikan asin, sambal lombok terung, ayam goreng dan semen. Semen nama yang unik untuk hijauan sayur dari tunas baru tanaman kubis yang habis dipanen. Di depan perapian kami makan dengan lahap, entah karena hawa dingin, rasa lapar, atau makanannya memang enak, yang saya simpulkan adalah ketiganya benar semua. Di depan tungku perapian kami makan sambil bercengkrama, dan memang benar ini adalah tempat favorit di desa ini.

Usai makan saatnya kami akan mengulik ada apa dengan desa Argosari. Kami berjalan ke rumah pak Slamet yang menjadi tokoh adat desa tersebut, namun kami sedang tidak beruntung karena tuan rumah sedang keluar. Lantas kami berjalan pada sebuah bangunan mirip candi yang sedang dalam proses pembangunan. Ternyata candi tersebut adalah lokasi tempat upacara agama Hindu dan ngaben. Saya bertanya "bangunan di sini mirip dengan yang dibali", lantas ada mas Zainul petugas dari dinas pariwisata Lumajan menjelaskan bahwa "terbalik mas, bali yang meniru tempat ini" dan kemudian dia melanjutkan cerita tentang penggalan babad tanah jawa.

Dahulu saat runtuhnya kerajaan Majapahit karena mendapat serangan dari utara, penduduknya berlarian mengungsi. Ada yang berlari ke Gunung Bromo yakni Joko Seger dan Roro Anteng yang kini menjadi suku Tengger, ada pula yang ke pulau Bali. Lumajang adalah daerah yang merdeka, sehingga penduduknya tetap bertahan di sini dan tetap menjadi umat hindu. Umat hindu yang di bali adalah pelarian dari tanah Jawa. Pernyataan tersebut senada yang di ungkapkan pak Marto yang mengelola Pura Madala Giri Semeru Agung di Lumajang. Bukti sejarah berkata demikin, sehingga tidak salah banyak umat Hindu di Bali yang beribadah di Lumajang.

[caption id="attachment_370014" align="alignnone" width="640" caption="Seorang petani menunjukan hama yang merusak tanaman bawang pre (dok.pri)."]

14144828741803455682
14144828741803455682
[/caption]

Sangat menarik melihat sisi sejarah dari Lumajang, namun sebuah keluarga yang sedang panen sayur menarik saya untuk lebih dekat dengan mereka. Berjalan pelan di antara daun bawang/bawang pre (Allium fistulonum) yang sedang di cabut untuk dipanen. Sepertinya mereka sedang panen raya dan saya mengikuti proses mereka memetik jerih payah selama ini. "Saat ini daun bawang memiliki harga yang cukup lumayan, sebab harga per kilonya 5 ribu dan menjadi 7 ribu saat dijual di kota" kata seorang petani yang sedang memanen. Kami berbincang seputar pertanian karena hampir seluruh penduduk di sini bertani sayur-mayur. Lahan yang subur adalah berkah bagi para petani di sini, tetapi alam ini juga tetap memberikan keseimbangannya yakni mendatangkan gangguan hama. Jika berpikir ekologi serangan hama adalah bentuk dari ketidakseimbangan lingkungan.

[caption id="attachment_370016" align="alignnone" width="640" caption="Salah satu rumah tradisional yang masih bertahan berdiri di tengah-tengah rumah baru (dok.pri)."]

14144829952078016888
14144829952078016888
[/caption]

Di sela-sela petak pertanian mata saya menerawang ke penjuru sisi timur dan selatan. Nampak awan berada di bawah desa Argosari. Desa dengan ketinggian diatas 2000mdpl, tak ubahnya dengan puncak gunung Ungaran di jawa tengah yang berketinggian 2050mdpl, tetapi di sini disulap menjadi lahan pertanian. Sayapun kembali ke perkampungan yang dibagi menjadi 4 dusun ini. Rumah-rumah modern nampak mendominasi rumah tradisional yang kini semakin susah untuk dilihat.

[caption id="attachment_370019" align="alignnone" width="640" caption="Ruang keluarga yang ditambah perapian sebagai penghangat kala malam tiba (dok.pri)."]

14144832081666903690
14144832081666903690
[/caption]

Sebuah rumah yang unik mengajak saya untuk masuk di dalamnya. Pak Edi yang menjadi pemandu kami, mengajak untuk masuk usai mendapat ijin dari tuan rumahnya. Dia langsung menjelaskan ornamen-ornamen yang menghiasi dinding. Sebuah ornamen berpola mata tombak menceritakan tentang kekuasaan Tuhan yang di atas sana. Yang manarik lagi adalah hampir semua sisi utara rumah terdapat jendela yang ditutup dengan kaca. Entah apa makna dibalik jendela ini saya kurang memahaminya. Di ruang keluarga seperti rumah-rumah yang lainnya, yakni terdapat tungku perapian dan perlengkapan dapur. Ruang keluarga yang lengkap dengan TV akan menjadi ruangan yang hangat dan nyaman untuk bersantai.

[caption id="attachment_370026" align="alignnone" width="640" caption="Status perempuan bisa dilihat dari bagaimana dia mengenakan sarung. Nampak gadis ini mengikat sarung di sebelah kanan pundak (do.pri)."]

14144835641326674423
14144835641326674423
[/caption]

Sebagi penutup jalan-jalan ini Pak Edi menawarkan "mas jika hendak mencari istri orang sini, lihat saja dari cara perempuan memakai sarung". Sayapun terhenyak sesaat sebab sarung bisa menjadi penanda apakah perempuan tersebut masih perawan, sudah menikah atau janda. Lantas pak Edi menjelaskan "jika perempuan mengikat saring di sisi kanan artinya dia belum menikah, jika mengikat di depan dia sudah menikah, jika di sisi kiri dia janda, jika dia tidak memakai sarung dia... sarungnya sedang dicuci" lantas disambut dengan gelak tawa. Tak sepenuhnya saya mempecayai hal tersebut, tetapi mata saya mencoba melirik perempuan-perempuan yang mengenakan sarung. Sayapun bersenandikan "hmm... ada benarnya juga".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun