Dahulu saat runtuhnya kerajaan Majapahit karena mendapat serangan dari utara, penduduknya berlarian mengungsi. Ada yang berlari ke Gunung Bromo yakni Joko Seger dan Roro Anteng yang kini menjadi suku Tengger, ada pula yang ke pulau Bali. Lumajang adalah daerah yang merdeka, sehingga penduduknya tetap bertahan di sini dan tetap menjadi umat hindu. Umat hindu yang di bali adalah pelarian dari tanah Jawa. Pernyataan tersebut senada yang di ungkapkan pak Marto yang mengelola Pura Madala Giri Semeru Agung di Lumajang. Bukti sejarah berkata demikin, sehingga tidak salah banyak umat Hindu di Bali yang beribadah di Lumajang.
[caption id="attachment_370014" align="alignnone" width="640" caption="Seorang petani menunjukan hama yang merusak tanaman bawang pre (dok.pri)."]
Sangat menarik melihat sisi sejarah dari Lumajang, namun sebuah keluarga yang sedang panen sayur menarik saya untuk lebih dekat dengan mereka. Berjalan pelan di antara daun bawang/bawang pre (Allium fistulonum) yang sedang di cabut untuk dipanen. Sepertinya mereka sedang panen raya dan saya mengikuti proses mereka memetik jerih payah selama ini. "Saat ini daun bawang memiliki harga yang cukup lumayan, sebab harga per kilonya 5 ribu dan menjadi 7 ribu saat dijual di kota" kata seorang petani yang sedang memanen. Kami berbincang seputar pertanian karena hampir seluruh penduduk di sini bertani sayur-mayur. Lahan yang subur adalah berkah bagi para petani di sini, tetapi alam ini juga tetap memberikan keseimbangannya yakni mendatangkan gangguan hama. Jika berpikir ekologi serangan hama adalah bentuk dari ketidakseimbangan lingkungan.
[caption id="attachment_370016" align="alignnone" width="640" caption="Salah satu rumah tradisional yang masih bertahan berdiri di tengah-tengah rumah baru (dok.pri)."]
Di sela-sela petak pertanian mata saya menerawang ke penjuru sisi timur dan selatan. Nampak awan berada di bawah desa Argosari. Desa dengan ketinggian diatas 2000mdpl, tak ubahnya dengan puncak gunung Ungaran di jawa tengah yang berketinggian 2050mdpl, tetapi di sini disulap menjadi lahan pertanian. Sayapun kembali ke perkampungan yang dibagi menjadi 4 dusun ini. Rumah-rumah modern nampak mendominasi rumah tradisional yang kini semakin susah untuk dilihat.
[caption id="attachment_370019" align="alignnone" width="640" caption="Ruang keluarga yang ditambah perapian sebagai penghangat kala malam tiba (dok.pri)."]
Sebuah rumah yang unik mengajak saya untuk masuk di dalamnya. Pak Edi yang menjadi pemandu kami, mengajak untuk masuk usai mendapat ijin dari tuan rumahnya. Dia langsung menjelaskan ornamen-ornamen yang menghiasi dinding. Sebuah ornamen berpola mata tombak menceritakan tentang kekuasaan Tuhan yang di atas sana. Yang manarik lagi adalah hampir semua sisi utara rumah terdapat jendela yang ditutup dengan kaca. Entah apa makna dibalik jendela ini saya kurang memahaminya. Di ruang keluarga seperti rumah-rumah yang lainnya, yakni terdapat tungku perapian dan perlengkapan dapur. Ruang keluarga yang lengkap dengan TV akan menjadi ruangan yang hangat dan nyaman untuk bersantai.
[caption id="attachment_370026" align="alignnone" width="640" caption="Status perempuan bisa dilihat dari bagaimana dia mengenakan sarung. Nampak gadis ini mengikat sarung di sebelah kanan pundak (do.pri)."]
Sebagi penutup jalan-jalan ini Pak Edi menawarkan "mas jika hendak mencari istri orang sini, lihat saja dari cara perempuan memakai sarung". Sayapun terhenyak sesaat sebab sarung bisa menjadi penanda apakah perempuan tersebut masih perawan, sudah menikah atau janda. Lantas pak Edi menjelaskan "jika perempuan mengikat saring di sisi kanan artinya dia belum menikah, jika mengikat di depan dia sudah menikah, jika di sisi kiri dia janda, jika dia tidak memakai sarung dia... sarungnya sedang dicuci" lantas disambut dengan gelak tawa. Tak sepenuhnya saya mempecayai hal tersebut, tetapi mata saya mencoba melirik perempuan-perempuan yang mengenakan sarung. Sayapun bersenandikan "hmm... ada benarnya juga".