Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kay Pang Petak Sembilan

28 November 2014   16:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:37 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_378814" align="alignnone" width="640" caption="Seorang pemuda keturuan Tionghoa memasuki gerbang Vihara Dharma Bakti. Cuaca yang panas, dia menyegarkan dengan minuman yang dingin. Di depannya nampak para pengemis yang sedang berteduh di bawah pohon (dok.pri)."][/caption]

"Mereka ini siapa cak..?" saya bertanya kepada teman saya dari Malang yang sudah menetap lama di Ibu Kota. Hanya satu kata yang muncul dari dia, dengan lugas, ceplas-ceplos apa adanya khas jawa timuran dia menjawab, "Kay pang." Tiba-tiba saya tertawa sambil mengingat sebuah film Tiongkok yang menceritakan kehidupan para pendekar masa lalu. Di balik tawa saya, sisi hati saya yang lain merasa ada sebuah ketimpangan sosial dan sangat mirip-mirip dengan film-film Tiongkok kuno dan di sini benar-benar terasa auranya, yakni petak sembilan.

Hilir mudik orang di kawasan pecinan di petak sembilan untuk mengadu keberuntungan. Nampak kakek nenek renta yang dilihat dari fisiknya adalah keturunan Tionghoa sedang berteduh di bawah payung sambil menunggui dagangannya. Mereka yang masih muda beradu otot mengangkut barang-barang dagangan keluar-masuk toko dengan ornamen merah dan bau hio yang harum menyengat. Orang-orang non keturunan Tionghoa juga turut serta mengadu keberuntungan untuk mencari rejeki dan berdiri menjadi kaum minoritas di kawasan itu.

[caption id="attachment_378815" align="alignnone" width="640" caption="Salah satu sudut di gang Petak Sembilan yang didominasi etnis keturunan Tionghoa (dok.pri)."]

14171417401832016447
14171417401832016447
[/caption]

Langkah kaki saya membawa pada sebuah realita kehidupan di petak sembilan. Ada mereka yang duduk manis karena melihat dagangannya laris. Ada mereka yang berteriak mencari pembeli hingga suara pekak. Ada juga yang nampak pasrah dengan nasib sebab tidak ada cara lain selain mengharap belas kasihan pada mereka yang beruntung. Kenyataan pahit-manisnya kehidupan tergambar jelas ini, dan bisa dilihat dengan mata kepala dan dirasa dengan semua indera.

Mendengar Kay Pang, pasti sepintas teringat dengan cerita para pendekar dari Tiongkok. Kay pang diidentikkan dengan partai pengemis, yakni segerombolan orang-orang yang memiliki nasib sama, yakni sebagai pengemis. Pengemis hanyalah kumpulan nasib, tetapi dalam urusan bela diri mereka juga jago-jago, bahkan bisa mengalahkan beberapa jawara kungfu. Kay Pang di petak sembilan bukanlah seperti dalam film-film kuno berlatar belakang Negeri Tirai Bambu, namun sebuah realita sosial di ibu kota negara ini.

[caption id="attachment_378816" align="alignnone" width="640" caption="Seorang anak kecil memasuki gerbang Vihara dan tepat disampingnya ada 2 pengemis dan didepannya masih banyak yang lain yang sedang menanti uluran rejeki dari dermawan (dok.pri)."]

1417141863360775414
1417141863360775414
[/caption]

Sebuah Vihara Dharma bakti menjadi bukti kemiripan bahwa film-film seperti Pendekar Rajawali lengkap dengan Kay Pang-nya. Dalam film laga tersebut partai pengemis, walau sebagai peminta-peminta tetapi berani melawan saat tubuh dan harga diri ini terancam. Mereka juga memiliki kemampuan yang mumpuni, baik dalam organisasi, dalam dunia politik, pengetahuan, bahkan olah kanuragan. Tanpa merendahkan kaum pengemis, tetapi mereka memiliki harga diri dan gengsi, bahkan kemampuan. Namun realita sekarang berbeda, pengemis bukanlah partai tetapi sebuah pilihan hidup.

Tanpa bermaksud merendahkan pengemis, sebab tidak semua pengemis memiliki nasib yang mengenaskan. Beberapa pemberitaan di media massa mengabarkan ada pengemis dengan rumah gedongan dan kendaraan yang bagus dan pendapatannya bisa mengalahkan pegawai kantoran. Sangat sudah mendefinisikan pengemis antara sebuah kepasrahan hidup atau sebuah profesi kehidupan. Jika mendengar pemberitaan tentang kampung pengemis dengan rumah-rumah yang cukup mewah dan beragam fasilitas, sepertinya tidak ada rasa kasihan terhadap mereka. Namun jika melihat di lapangan acap kali iba melihat tangan menengadah meminta belas kasihan. Inilah ironi sekaligus realita kehidupan dan semua orang bebas menentukan beberapa pilihannya.

[caption id="attachment_378818" align="alignnone" width="640" caption="Suasana sembahyang di dalam vihara Dharma bakti (dok.pri)."]

14171419701692033171
14171419701692033171
[/caption]

Di wihara ini saya melihat deretan para pengemis dari pintu gerbang hingga pelataran. Banyak sekali pengemis dan sepertinya susah memilah-milah pengemis ini. Namun jika sepintas melihat, ada mereka yang buta duduk diam di sudut gerbang. Ada ibu-ibu dengan kulit hitam legam dan tubuh suburnya bersandar pada dinding tembok pembatas jalan. Ada juga pemuda yang sepertinya tidak malu menengadahkan tangan kanan, sedang tangan kiri memegang ponsel pintar. Ada juga yang pasrah sambil berteduh di bawah pohon dengan pakaian lusuhnya. Saya tidak membayangkan jika para pengemis ini ternyata kenal satu sama lainnya, lalu mereka membuat sebuah paguyuban, bisa jadi menjadi Kay Pang Petak Sembilan.

[caption id="attachment_378820" align="alignnone" width="640" caption="Para umat tri dharma ada yang berdoa dan usai berdoa. Para pejuang kehidupan ini memohon doa dalam setiap usaha mereka (dok.pri)."]

1417142038566748505
1417142038566748505
[/caption]

Saya mencoba berjalan di sela-sela para pengemis untuk melihat aktivitas di dalam vihara. Ternyata banyak juga yang sedang sembahyang. Mulut dan hidung saya harus berebut oksigen dengan api yang membakar hio dan lilin. Asap-asap hio nampak mengepul memenuhi ruangan dan aroma harum yang kental begitu menyengat hingga membuat yang tidak biasa akan pening di kepala. Mereka yang tua dan muda tumpah ruah di sana untuk bersembahyang dengan memohon untuk setiap doa dan harapannya. Dari dalam vihara yang gelap dan remang-remang saya melihat wajah-wajah oriental yang optimis dalam melakoni sebagai pejuang kehidupan. Nampak kontras dengan yang di luar sana, wajah-wajah khas Melayu yang nampak pasrah dengan keadaan dan perjuangannya hanya untuk hidup dari belas kasihan.

Entah kepada siapa bertanya siapa yang bertanggung jawab tentang realitas sosial ini. Terlalu sayang juga meminta kepada pemerintah setempat juga untuk mengatasi permasalahan ini. Dinas sosial beberapa kali berburu, namun hasil buruannya dilepaskan kembali dan kembali lagi seperti sebelumnya. Jika mengemis adalah profesi, maka tidak salah jika di beberapa daerah sudah membuat peraturan daerah tentang larangan memberikan sedekah. Berbeda jika mengemis adalah desakan kehidupan, maka tugas pemerintah dan mereka yang beruntunglah untuk mengentaskan nasib mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun