[caption id="attachment_394733" align="alignnone" width="640" caption="Pejalan kaki harus berjalan di jalur yang sudah disediakan, selebihnya adalah pelanggaran (dk.pri)."][/caption]
"Mobil ini tidak akan jalan, jika semua belum mengenakan sabuk pengaman" kata pak Ari sambil matanya menatap kaca spion dalam dalam kabin. Setelah kelima penumpangnya mengenakan sabuk pengaman barulah mobil mulai berjalan setelah menekan klakson 2 kali. Mungkin kejadian ini hanya terjadi di negara-negara maju saja yang aturan lalulintasnya begitu ketat, berbeda dengan Indonesia yang mewajibkan memakai sabuk pengaman hanya penumpang di kursi depan dan sopirnya, itupun masih di abaikan. Berbeda di lokasi pertambangan, semua penumpang wajib mengenakan sabuk keselamatan.
Pagi ini saya dengan pak Budi salah satu staff PT.NNT di Sumbawa. Mobil yang kami tumpangi sesaat berhenti di sebuah kios kecil yang menjual makanan tradisional, kebetulan di sana sedang banyak orang berkumpul untuk menikmati santap pagi. Setelah melepas sabuk pengaman kami berdua turun untuk membeli beberapa bekal makanan sebelum kami hari ini masuk hutan. SIngkat cerita kami kembali masuk dalam kabin mobil, mengenakan sabuk pengaman dan mobil dinyaakan.
Sejenak sebelum injak Gas mundur pak Budi menekan klakson 3 kali, semerta itu mereka yang makan tersedak kaget. "ah saya lupa, kebiasaan di tambang" kata pak Budi. Akhirnya mobil ganti gigi maju, kembali dia menekan klakson 2 kali, ternyata ada yang masih terkejut sambil batuk-batuk "maaf... maaf.. maaf.." itu yang terucap dari kami. Mobil mau mundur harus klakson 3 kali, dan 2 kali jika hendak maju itulah SOP (Prosedur oprasional standar) di pertambangan. Bayangkan jika SOP yang saban hari itu melekat terbawa di luar lingkungan pabrik, maka inilah yang akan terjadi.
[caption id="attachment_394734" align="alignnone" width="640" caption="Sabukan pengaman bukan lagi sunnah, tetapi wajib, wajib sekali hukumnya (dok.pri)."]
Di pertambangan saya banyak belajar tentang aturan yang mengenai keselamatan. Urusan nyawa dan kecelakaan benar-benar menjadi prioritas utama dalam dunia gali-menggali logam mulia ini. Apapun yang akan dikerjakan atau tindakan ada aturan mainnya yang dinamakan SOP. Mungkin masing-masing tempat akan memiliki SOP, namun dalam pertambangan SOP begitu detail dan ketat, terlebih lagi pengawasaan dan sangsi tegasnya. Jika ada orang baru, dijamin akan mengalami gegar budaya, karena semua di atur dan tidak bisa seenak ususnya sendiri.
Di tengah hutan belanjara, di town site bangun pagi pukul 04.30 sebuah kebiasaan di rumah hanya membetulkan selimut lalu melanjutkan tidur. Jam-jam itu semua karyawan rerata sudah bangun, sebab harus antri kamar mandi dengan karyawan yang lain. Pukul 05.30 harus segera masuk dalam mess hall untuk sarapan. Sesaat hendak makan, tersedia piring yang sudah di garis menjadi 4 bagian; karbohidrat, protein, lemak, serat dan sayuran. 4 bagian tersebut harus di isi dengan menu makanan yang sudah di beri label merah dan hijau, yang artinya tinggi gula dan rendah gula. Usai mengambil komposisi makanan saatnya menikmatinya dan semua orang belum tentu bisa menikmatinya. Masakan tanpa MSG, serasa hambar di lidah dan tidak seperti masakan rumah atau warung yang benar-benar nendang di lidah. Mungkin karena tidak ada pilihan, habiskan saja sampai tak tersisa.
[caption id="attachment_394735" align="alignnone" width="640" caption="Menu makan dan komposisi makanan juga di atur dengan ketat (dok.pri)."]
Selesai makan saatnya menuju tempat kerja masing-masing. Bagi mereka yang berjalan kaki akan mendapat prioritas utama. Di sini adalah istananya para pejalan kaki, sebab kaisarnya adalah pedestrian. Jalur khusus pejalan kaki dibuat nyaman dan teduh, benar-benar dimanjakan. Untuk urusan menyebrang, pejalan kaki harus lewat sebrakros yang bisa saya ibaratkan sebagai karpet merah. Baru hendak menginjak garis belang hitam dan putih, secara otomatis semua kendaraan yang hendak lewat berhenti jauh dibelakang marka. Dengan sabar sopir menunggu penyebrang lewat, walaupun sebenarnya dia juga buru-buru. Suatu sore di hari pertama saya bersama berjalan bak artis, karena banyak yang memperhatikan, ternyata kami melangkah di jalan raya dan bukannya dijalur pedestrian "orang baru ya...?" kata mereka.
Tengah hari sudah lewat, manakala suara perut sudah berbunyi pertanda energi sudah terkuras habis dan isi lambung sudah kosong. 30 menit berlalu dari jam makan siang, dan menyisakan setengah jam lagi. Dari jauh nampak pak Molet tergopoh-gopoh membawa kardus berisi santap siang hari ini. Keringat yang mengucur dalam peluhnya dan napas yang masih putus-putus dia berkata "maaf mas, kami sudah buru-buru tapi tidak boleh nginjak gas diatas 40km/jam, bahkan ada 30 km/jam, mana bisa ngebut, makanya kami terlambat".
[caption id="attachment_394736" align="alignnone" width="640" caption="Harus berhenti beberapa saat dan memastikan aman, bisa dibayangkan jika ketemu dengan monster pengangkut ini...? (dok.pri)."]
Di jalan raya, semua serba di atur bahkan lebih ketat. Jika melewati pertigaan atau perempatan, semua kendaraan wajib berhenti "tengok kiri hitung 7 detik, tengok kanan hitung 7 detik, tengok kiri 3 detik, clear baru jalan" saya memperhatikan kepala pak Molet yang memperagakan bagaimana SOP di persimpangan jalan. Ada tidaknya kendaraan di jalan, semua harus berhenti jika tidak tunggu saja panggilan dari pengawas jalan raya yang selalu memantau 24 jam lewat CCTV.
Petugas pengawas jalan raya selalau memantau mobiltas kendaraan, baik melalui CCTV, patroli di jalan hingga bersembunyi di semak belukar. Ada kisah menarik dari pak Gede Artyasa yang bertugas bagian dokumentasi. Dia melajukan kendaraan di kecepatan 40 km/jam, begitu masuk di area 30 km/jam laju kendaraan masih di atas 40 km/jam, walaupun akhirnya turun di 30 km/jam. Datanglah petugas PJR menilangnya yakni dengan denda dan pencabutan ijin mengemudi selama 3 bulan, maka sejak itulah dia memiliki sopir pribadi kemanapun pergi dan temannya hanya bisa menggerutu.
[caption id="attachment_394737" align="alignnone" width="640" caption="Kawasab wajib helm, kacamata pelindung dan sepatu safety, tanpa itu jangan harap bisa masuk (dok.pri)"]
"jangan lupa ID card" kata pak Fajri selalu mengingatkan kami agar tidak lupa dengan kartu pengenal kami. Kartu ini ibarat kunci hidup dan nyawa kami selama di pertambangan. Dari mulai makan, ruangan kerja, massuk area tertentu hingga keluar dari area tambang harus menggunakan kartu ini untuk membuka pintu. Jika sampai kartu ini hilang atau tidak terbawa maka bisa menjadi gelandangan di pertambangan, alias tidak bisa makan dan pulang. Suatu saat kartu teman saya hilang, sehingga dia terancam tidak bisa sarapan. Untung saja dia memiliki foto sehingga bisa diberikan petugasnya untuk memasukan secara manual. Kisah ini berakhir manakala kembali ke camp site, ternyata ID cardnya masih menpel di tirai jendela. Saya baru ingat pagi itu saya menarik tirai dan ID card tergulung di dalamnya, sehingga teman tidak tahu. Pak Molet sebagai pendamping kami mengelus dada lega "sampai hilang saya bisa nebus 500 ribu".
Untuk soal keselamatan yang menjadi prioritas adalah harga mati. Kami bak seperti teman-temannya Ultraman dalam serial superhero, kemana-mana harus memakai kacamata dan helm. Tanpa ID card, kacamata, helm dan sepatu tambang kami tidak diperbolehkan kemana-mana. Bisa dibayangkan ada orang kecing sambil memakai helm, bahkan sedang mencendok nasi tetap helm dikenakan, kembali pada soal keselamatan.
Akhirnya keseharian kami dipertambangan berakhir sudah. Bus yang menjemput kami untuk mengantarkan ke pelabuhan sudah datang. Sesaat sebelum bus berangkat sopir mengintakkan kami untuk mengenakan sabuk keselamatan. Sebagian dari kami mengikuti instruksinya sebagain sudah mengabaikannya "kan sudah mau pulang" kata teman saya, sementara tubuh saya sudah terikat. Sesaat sebelum bus berjalan sopir menekan klakson 2 kali lalu berjalan pelan. Tetiba bus berhenti di jalan karena ada teman kami yang berdiri dan berjalan di lorong bus. Wajah sopir agak sedikit menahan marah sambil berkata "tolong kembali ke tempat duduk, nanti saya yang kena pelanggaran".
Kembali bus berjalan, sembari saya berbincang dengan teman yang di selah saya. Kami membincangkan tentang kedisiplinan di jalan terutama dengan PJR yang sembunyi-sembunyi untuk memantau kendaraan yang lewat. Tangan saya menunjuk "itu petugasnya ya yang membawa pistol laser itu" tanya saya dan teman saya menjawab "iya itu iya petugasnya". Lalu petugas PJR mengentikan bus kami dan tak dinyana petugasnya masuk dalam bus. "Maaf kami periksa sabuk pengamannya...!" kata petugas PJR. "klik.. klak..klak..klak.. klak..." terdengar berisik para penumpang bus mengenakan sabuk pengaman.
[caption id="attachment_394739" align="alignnone" width="640" caption="Apapun yang terjadi, tetap harus sesuai dengan SOP (dok.pri)."]
Ada yang mengatakan, aturan dibuat untuk dilanggar. Coba sekali saja melanggar di sini, bisa fatal akibatnya. "Mana sabuk pengamannya dan tolong buka tas penutupnya" kata petugas menunjuk sabuk keselamatan teman yang duduk di samping saya. "hayoo tidak di kunci ya... cuma di silangkan saja" kata petugas menunjuk sabuk pengaman teman saya yang tidak terpasang. Langsung tanpa ragu petugas PJR mencatat ID Cardnya dan penumpang lain yang tak mengenakan sabuk pengaman. Kesalahan utama langsung dilimpahkan ke sopir yang seharusnya mengingatkan penumpangnya, namun kami mengakui "pak... pak sopir sudah memberi tahu, cuma kami yang bandel pak... lagian kami juga mau pulang" kata teman saya, "ya sudah... lain kali harus dikenakan untuk keselamatan kalian" kta petugas PJR.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H