Kembali saya menyusuri tebing-tebing Pantai Siung yang dibagi menjadi beberapa blog. Blog-blog sesuai abjad huruf ini menunjukkan lokasi pemanjatan, dan yang terkenal adalah sebuah blog yang memiliki ikon kuda laut. Konon tebing inilah yang memiliki tingkat kesulitan tinggi di mata pemanjat, selain ornamen kuda laut yang terukir  di atas sana. Tangan ini ternyata gatal juga. Sebuah tas berisi peralatan panjat, terpaksa harus keluar untuk sedikit mencoba jalur yang mudah, ternyata tak semudah yang kami perkirakan. Beberapa kali jatuh, naik lagi, dan jatuh lagi. Rasa frustasi dan tenaga yang menipis, kembali membuat kami segera menggulung tali.
Ikan goreng dengan lalapan daun pepaya dan segelas teh hangat menemani kami untuk berbincang dengan mBah Wasto. Sesosok lelaki dengan kerut wajah, menapak usia yang sudah senja, namun tetap bersemangat untuk bercerita. Tahun 70-an saat tempat ini belum berpenghuni dia sudah mulai 'babat alas'. Dia menceritakan sebagai salah satu abdi dalem keraton, harus siap ditempatkan di mana saja. Sisi timur Pantai Selatan menjadi tempat dia mengabdi dengan beragam suka-dukanya menjadi seorang abdi dalem.
Kisah-kisah hidupnya yang sederhana, penuh dengan halang rintangan dengan segala keterbatasan membuat dia 'sumeleh, berserah pada Gusti Allah dan alam". Konon sebagai orang yang dipasrahi menjaga pantai dia harus berjalan jauh dari satu pantai ke pantai yang lain. "Tak ada jalan bukan halangan, selama ada kantong macan" sebuah pegangan mirip pintu saja milik Doraemon. Percaya tidak percaya, tetapi itulah uniknya sebuah budaya yang kadang hanya bisa dinikmati dan dikagumi hanya lewat cerita.
[caption id="attachment_397516" align="aligncenter" width="358" caption="Sejenak berbincang dengan sesepuh di pantai Siung, yakni mBah Wasto (dok.pri)."]
Pantai Siung memang salah satu pantai yang aksesnya cukup sulit. Tidak ada listrik, sinyal acap kali menjadi kendala bagi mereka yang benar-benar tergantung, tetapi tak masalah bagi mBah Wasto dan keluarga karena sudah terbiasa. Tak terasa, obrolan siang ini harus berhenti karena harus melanjutkan perjalanan, "mbah ada kantong macan," sergah saya dan beliau pun terkekeh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H