[caption id="attachment_400094" align="aligncenter" width="512" caption="Seorang nelayan sedang mengangkut jaring menuju perahunya saat senja di Senggigi (dok.pri)."][/caption]
Senja itu di senggigi, salah satu pantai yang menjadi ikon pulau Lombok. Saya terheran-heran seorang penjaja sovenir mendekati saya sambil membakar mutiara yang berkilauan. Tak jauh dari situ nampak seorang nelayan yang sibuk membenahi layar perahunya. Di jalanan setapak para pelancong hilir mudik kesana kemari. Di balik tembok, mereka yang beruang sedang menikmati sore sambi tiduran di kursi malas tepian kolam renang, sembari menatap langit yang temaram.
[caption id="attachment_400095" align="aligncenter" width="512" caption="Seorang penaja cinderamata menunggu pembeli di pantai Senggigi (dok.pri)."]
Lombok, sebuah pulau yang diapit oleh Bali dan Sumbawa. Pulau ini teramat istimewa dan menjadi alternatif pulau dewata. Gunung Rinjani yang megah hingga taburan gili-gili yang tersebar di sekeliling bumi mataram. Mendengar kata Lombok, maka akan dengan mudah menyebut Rinjani, Gili dan Senggigi. Senja itu saya sengaja mengabiskan waktu di pantai yang menjadi ikon pulau Lombok, padahal banyak pantai lain yang tak kalah indahnya. Senggigi begitu memikat, menurut saya adalah pesona matahari terbenam dan aktifitas penduduk sekitarnya.
Sesaat begitu menginjak pasir pantai Senggigi seorang penjaja cinderamata menghampiri saya. Dia menawarkan bermacam perhiasan yang sebagian besar berbahan mutiara. Nusa Tenggara Barat begitu terkenal sebagai salah satu penghasil mutiara berkualitas di Indonesia, bahkan dunia juga mengakuinya. Saya yang kebal dengan rayuan ala pedagang hanya manggut-manggut saja ketika dia memaparkan dagangannya dengan rayuan khasnya.
[caption id="attachment_400096" align="aligncenter" width="512" caption="Penjual cinderamata mendemonstrasikan menguju apakah mutiara ini palsu atau asli dengan cara membakarnya (dok.pri)."]
Untuk memastikan kualitas mutiaraya dia mengeluarkan sebuah korek gas lalu membakar salah satu butiran mutiara. "Jika dia pecah, meleleh atau retak maka mutiara ini palsu" katanya sambil terus membakar mutiara yang melai menghitam terkena jelaga. Saya yang sudah dari awal tidak berminat membeli hanya bisa diam terpaku, betapa nekatnya orang ini membujuk saya hingga propertinya menjadi taruhan kepercayaan. Mutiara yang terbuat dari kalsium karbonat dan campuran mineral lain dari jenis tiram memang tidak akan berpengaruh dengan pemanasan, berbeda dengan plastik. Untuk mengujinya dengan cara dibakar, saya hanya berpikir bagaimana manaik-manik itu terbuat dari sejenis kaca?
[caption id="attachment_400102" align="aligncenter" width="512" caption="Senggigi begitu lengkap untuk membuat sebuah cerita tentang kehidupan dan keindahan alam (dok.pri)."]
Pedangang tersebut akhirnya mundur teratur, begitu saya sibuk dengan kemera saya sambil menatap ke arah barat. Dengan halus saya menolak, jika saya memang tidak berminat untuk membeli, tetapi saya mengapresiasi presentasinya dan beberapa gambar menarik bisa saya dapatkan dari dia. Jabat tangan dan lambain tangan menjadi perpisahan, saya mencari obyek gambar dan dia mencari pembeli. Saya melangkahkan kaki menuju jajaran-jajaran perahu yang masih di darat.
[caption id="attachment_400098" align="aligncenter" width="512" caption="Tatapan nelayan yang tak pernah redup walau sebentar lagi matahari terbenam di kali langit selat lombok (dok.pri)."]
Syahroni begitu nama salah satu nelayan yang sore itu sibuk membentangkan layar warna-warninya. Nampak indah siluetnya dibalik semburan cahaya hangat matahari, sebuah perpaduan warna yang sempurna saya dapatkan. Sesaat dia usai merapikan layarnya kemudian dia mengambil 2 buah kaleng cat yang berisi dempul dan dan cat minyak. Rupanya dia sedang menambal cadiknya yang retak, karena terbuat dari bambu. Sambil dia mengecat saya terus mencerca dengan beberapa pertanyaan, dan terjadilah obrolan yang hangat sembari saya melancarkan serangan lewat bidikan kamera.
"Sekali melaut habis bensin 15-30 liter untuk mesin 15 pk. Kadang hasilnya lumayan, bisa menutup uang bensin dan sewa perahu. Kadang jika tidak ada ikan, maka utang menumpuk untuk tengkulak bensin dan juragan perahu. Sudah hutang, pulang tak bawa uang, anak tak bisa kasih uang jajan, terlebih istri juga meradang" celoteh Syahroni sambil memulas perahunya dengan resin. "mas jika musim ikan, kita seperti juragan, tetapi saat musim barat (badai) kita kaya gelandangan, sudah menganggur tak ada penghasilan, paling jadi tukang atau kuli bangunan".
[caption id="attachment_400099" align="aligncenter" width="512" caption="Syahroni yang sibuk memperbaiki cadik perahu, menyadari tanggung jawab besar di pundaknya yang harus bergulat dengan laut menjelang subuh (dok.pri)."]
Miris juga saya mendengar celoteh anak bangsa, memutuskan nikah muda saat umur 19 tahun dengan gadis pujaannya. Saat kini usia menginjak 22 tahun harus menjadi tulang punggung keluarga dan membesarkan anak semata wayangnya. Di akhir obrolan "mas nanti malam main-main di sini, bawakan makanan dari hotel ya  biar kita ikut merasa hahahaha...". Saya hanya bisa tersenyum sambil nanar melihat dia dan rekan-rekannya yang senja itu sibuk membenahi perahu, sementara malam ini mereka akan menginap di pantai dan subuh berangkat melaut.
[caption id="attachment_400100" align="aligncenter" width="512" caption="Sunset yang indah, kadang tak seindah mereka yang berjuang di laut sana (dok.pri)."]
Sunset senja ini sangat indah manakala langit barat yang mulai memerah. Saya hanya bisa berdiri di tepian pantai sambil melihat buih-buih yang menyapu pasir halus senggigi. Sebuah kamera saya sudah lebih dari 1 jam merekam detik-detik matahari terbeman, tetapi pikiran saya masih terang benderang mengingat kisah Syahroni. Tak ada rasa lelah di raut wajahnya, yang ada adalah  semangat yang tak pernah terbenam walau langit muali kelam. Sesaat saya melihat dia yang mulai rebahan, di atas pasir.  Langit pun berganti malam, saya terlelap dan ketika membuka tirai jendela matahari sudah terang dan pantai pun sepi "selamat berjuang syahroni, di hotel saya tidak makan".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H