Mohon tunggu...
J Wicaksono
J Wicaksono Mohon Tunggu... Lainnya - Praktisi Kesehatan ingin belajar menulis

Saya suka menulis dan membaca berbagai artikel

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Studi Komparatif Kekuatan Pertahanan Matra Laut dalam Menghadapi Ancaman Kedaulatan di Sekitar Laut Natuna Utara

31 Mei 2024   19:12 Diperbarui: 31 Mei 2024   19:46 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ANCAMAN KONFLIK DI LAUT CHINA SELATAN 

TERHADAP KEDAULATAN INDONESIA

 

JAROT WICAKSONO

 

PENDAHULUAN

Laut Natuna Utara, meski aspek legal penamaannya belum diakui secara internasional, telah digunakan dalam peta laut Indonesia yang diterbitkan Badan Informasi Geospasial (BIG) Sejak tanggal 14 Juli 2017[1] BIG sendiri merupakan Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden yang memiliki tugas pokok berupa pelaksana bidang informasi geospasial dilingkungan pemerintah termasuk didalamnya informasi geospasial dasar, informasi geospasial tematik dan infrastruktur informasi geospasial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[2] 

Menurut Prashanth Parameswaran (Kolumnis Senior di The Diplomat, Anggota Program Asia di Wilson Center, dan Pendiri ASEAN Wonk newsletter) yang dilakukan Indonesia merupakan sebuah bentuk upaya atas dasar koridor Hukum Internasional sebagai penegasan kedaulatan pada Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia -- ZEEI disekitar Kepulauan Natuna.[3]

Kedaulatan telah menjadi sebuah permasalahan pasca Tiongkok melakukan upaya aktif atas klaim mereka pada sebagian besar Laut China Selatan (LCS) dimana Laut Natuna Utara secara norma Hukum Internasional sejak tahun 1958 merupakan bagian daripadanya (LCS).[4] Hal ini membuat terjadinya tumpang tindah klaim dimana banyak negara lain melakukannya meski tidak seluas Tiongkok.

 Indonesia meski bukan menjadi bagian negara-negara yang melakukan klaim atas LCS perlu tetap menegakkan kedaulatan atas dasar Hukum Internasional yang telah disepakati dan teguh padanya. Ada ancaman kedaulatan bagi Indonesia atas situasi ini. Sebagian ZEEI Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna bersinggungan dengan klaim yang dilakukan Tiongkok. Dalam rangka memastikan tetap tegaknya kedaulatan Indonesia, kekuatan matra laut menjadi salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dan diperkuat keberadaannya.

TNI AL adalah kekuatan pertahanan utama matra laut Indonesia.[5] Tanggung jawab besar ada dipundak TNI AL untuk memastikan kedaulatan Indonesia sesuai dengan tugas pokoknya. Menghadapi perkembangan ancaman kedaulatan di sekitar Laut Natuna Utara akibat adanya persinggungan dengan klaim Tiongkok, TNI AL didukung TNI AU (kepanjang tangan negara di udara) harus memiliki kecukupan kekuatan sebagai daya getar (diplomasi dan kekuatan fisik) untuk menghindari negara lain melakukan upaya yang mengancam kedaulatan termasuk di sekitar Laut Natuna Utara. 

Dalam rangka memastikan kekuatan pertahanan Indonesia cukup memiliki kemampuan demi jaminan kedaulatan Indonesia, Studi Komparatif Kekuatan Pertahanan Matra Laut Dalam Menghadapi Ancaman Kedaulatan Di Sekitar Laut Natuna Utara dilakukan oleh peneliti.

 

METODOLOGI

            Penelitian tentang studi komparatif kekuatan pertahanan matra laut dalam menghadapi ancaman kedaulatan di sekitar Laut Natuna Utara dilaksanakan melalui metode kualitatif. Peneliti menjabarkan kesenjangan yang ada melalui pola deskripsi yang diperkuat dengan data perbedaan kekuatan antar negara yang memiliki/terkait dengan permasalahan kedaulatan di LCS. Data dimaksud dikomparasi demi mendapatkan kesimpulan pada akhir penelitian.

 

 

PEMBAHASAN

            Tahun 2021 terjadi peristiwa yang secara nyata menjadi ancaman serius atas kedaulatan di sebuah wilayah Indonesia. Kapal Survey berbendera Tiongkok Haiyang Dizhi Shihao 10 melakukan pergerakan masuk kedalam ZEEI Indonesia dilanjutkan gerakan zigzag seperti tengah melakukan pemetaan wilayah perairan. Hal ini pertama kali diungkap oleh Indonesia Ocean Justice Initiave (IOJI). Dikutip dari lama IOJI, kapal riset China ini melakukan aktivitas dimaksud pada 31 Agustus 2021.[6] 

Apa yang terjadi pada tanggal itu ternyata merupakan sebuah awal dari kegiatan selanjutnya dimana pada Oktober hingga November (tahun yang sama) kapal ini bahkan melakukan aktifitas pelayaran lebih panjang (diduga) sebagai bentuk kegiatan survei dengan dikawal Kapal Coast Guard Tiongkok (China Coast Guard) CCG-6305.[7]

            Kejadian ini menjadi ancaman serius karena kedua kapal tidak mengindahkan kehadiran TNI AL yang mencoba menegakkan kedaulatan Indonesia pada perairan yang mereka masuki dengan mengirim KRI Bontang -- 907. Berdasarkan catatan AIS, pada sebuah momen KRI Bontang - 907 hanya berjarak 1,2 NM (Nautika Mile) dengan kapal survei Tiongkok.[8] 

Meski demikian ketiga kapal (KRI Bontang -- 907, Kapal Survei Tiongkok dan Unsur CCG Tiongkok) tidak saling bersinggungan secara fisik hingga akhirnya pada bulan November 2021 kedua kapal milik pemerintah Tiongkok menjauhi ZEEI.

            Meski demikian pada beberapa kesempatan, kapal-kapal negara Tiongkok kerap bersinggungan dengan unsur KRI milik TNI AL yang melakukan patroli di Laut Natuna Utara. 17 Juni 2016, KRI Imam Bonjol -- 383 dengan CCG 3303 dan CCG 3501;[9] 30 Desember 2019, KRI Tjiptadi - 381 dengan CCG 4301.[10] 14 September 2020, KRI Imam Bonjol -- 383 dengan CCG 5204.[11] Apa yang dilakukan Tiongkok, ternyata juga dilakukan kapal negara lain (atas Laut Natuna Utara). 

Vietnam salah satunya, 29 April 2019 KRI Tjiptadi-381 menemukan upaya patroli ke wilayah ZEEI oleh kapal negara Viernam.[12] Apa yang dilakukan negara-negara dimaksud merupakan bentuk upaya negatif terhadap kedaulatan negeri kita. Karenanya, selain diplomasi (dengan Vietnam misalnya untuk menetapkan batas wilayah di perairan) tentunya TNI AL selaku kekuatan pertahanan utama negara di laut harus memiliki cukup kekuatan menghadapinya. Situasi ini masih ditambah keberadaan pangkalan aju di LCS yang dibangun Tiongkok pada beberapa pulau.

            Tahun 2022, Indo-Pasific Defense Forum melaporkan, bahwa reklamasi yang dilakukan Tiongkok pada beberapa pulau di wilayah LCS yang masuk kedalam klaim sepihak mereka telah mencapai 1.294 hektare (13 km) meliputi sekurangnya 3 buah pulau, masing-masing Mischief Reef, Subi Reef, dan Fiery Cross. 

Pada ketiga pulau ini, Tiongkok membangun gudang, hanggar, pelabuhan laut, landasan pacu, dan berbagai faslitas pendukung lain termasuk radar dengan kekuatan pengawasan yang luas. Indo-Pasific Defense Forum melaporkan hal ini berdasarkan pernyataan Laksamana John Aquilino yang kala itu menjadi Komandan Komando Indo-Pasifik Amerika.[13] Pada ketiga pulau ini disinyalir ada pasukan Tiongkok dengan jumlah minimal 5.000 personel.

            Tiongkok bahkan membangun Kota Sansha, di Pulau Woody sebagai mahkas komando dengan kekuatan militer yang cukup banyak disana.[14] Bahkan dalam peta terbaru, mereka (Tiongkok memasukan kota ini ke dalam bagian Provinsi Hainan). Bagi penduduk asli yang mendiami berbagai kepulauan di LCS, Tiongkok juga menyelenggarakan berbagai program kemanusiaan, salah satunya denganmengirim secara berkala kapal rumah sakit untuk melakukan upaya pengobatan. 

Pertengahan Oktober 2022, kapal rumah sakit Youhao, mengunjungai sekurangnya 13 pulau untuk melakukan layanan medis bagi lebih dari 5.000 warga asli. Hal ini dilaporkan CGTN, cabang global jaringan televisi pemerintah CCTV.[15] Upaya strategis ini tentu membuat Tiongkok saat ini mendapat simpati penduduk asli yang mendiami berbagai pulau kecil di LCS, meski secara yuridiksi Tiongkok telah dinilai tidak memiliki dasar terhadap klaim yang mereka lakukan di LCS.

Pangkalan Tiongkok di Mischief Reef Sumber : Koran Sulindo (2018)
Pangkalan Tiongkok di Mischief Reef Sumber : Koran Sulindo (2018)

            Tentang pangkalan militer yang dibangun, merupakan sebuah pangkalan militer lengkap yang mampu disandari kapal-kapal besar hingga kapal induk Bahkan di Mischief reef Nampak beberapa bangunan mirip silo, tempat menyimpan rudal balistik yang biasanya berhulu ledak nuklir (gambar 2. lihat pojok kiri atas). Hal ini membuat Tiongkok memiliki kedudukan yang kuat dan siap melakukan proyeksi cepat di berbagai wilayah LCS  apabila mereka menemukan upaya penerobosan wilayah kedaulatan (versi mereka -- Tiongkok).

            Selain ancaman dari Tiongkok, secara garis besar ada beberapa negara yang melakukan klaim sepihak di LCS yang menyebabkan tumpang tindih kedaulatan disana. Negara-negara ini antara lain Tiongkok, Filipina, Malaysia serta Brunei Darussalam. Selain keempatnya, ada satu pihak lain yang melakukan klaim, yakni Taiwan. Namun sejauh ini pemerintah Indonesia belum mengakui keberadaan Taiwan sebagai sebuah negara.[16] 

Disamping keempat negara tadi, Filipina menjadi salah satu yang terdepan secara aktif memperjuangkan kedaulatan. Selain memenangkan sengketa atas Klaim Tiongkok di Pengadilan Arbitrase Internasional,[17] Filipina juga menggandeng Amerika Serikat (selanjutnya disebut Amerika saja) untuk turut menjaga stabilitas keamanan di wilayah perairan mereka. Tahun 2023 Filipina dan Amerika melakukan pembaruan kerjasama pertahanan yang ditingkatkan. Kerjasama ini dikenal dengan nama ECDA - Enhanced Defense Cooperation Agreement). 

Amerika atas dasar ECDA mulai menempatkan kembali kekuatan militernya di di Filipina, antara lain di; Pangkalan Udara Benito Ebuen di Cebu, Pangkalan Udara Lumbia di Cagayan De Oro, Pangkalan Militer Fort Magsaysay di Nueva Ecija, Pangkalan Udara Cesar Basa di Pampanga, dan Pangkalan Udara Antonio Bautista di Palawan.[18] 

Dan Amerika sendiri memiliki sekutu kuat yang tengah membangun kekuatan di Selatan wilayah ini, tepatnya Australia. Bagi Australia, LCS sangat penting sebagai pintu perdagangan negeri mereka, dan untuk itu sikap Australia terhadap kebebasan bernavigasi sama dengan Amerika.[19] Hal yang cukup melegakan ditengah situasi ini, selain Tiongkok, tidak ada negara lain yang mencoba melakukan klaim atas ZEEI Indonesia selain Vietnam akibat belum dicapai kesepakatan batas wilayah antara pemerintah Indonesia dan Vietnam.

Melihat kondisi umum ini, peneliti mencoba membandingkan kekuatan pertahanan matra laut Indonesia (TNI AL didukung TNI AU) dengan negara-negara yang memiliki kepentingan besar di sekitar Laut Natuna Utara/LCS sebagai berikut:

Tabel 1. Data Kekuatan Pertahanan (Khusus Perairan) Antar Negara Yang Memiliki Kepentingan di Sekitar Laut Natuna Utara

Sumber : Olahan dari Global Fire Power (2024)
Sumber : Olahan dari Global Fire Power (2024)

            Dari data yang disarikan peneliti (Berpatok pada Global Fire Power -- GFP 2024), dapat diambil poin penting bagi Indonesia antara lain:

  • Kekuatan pertahanan matra laut didukung udara Indonesia tertinggi dibandingkan negara-negara yang berasal dari kawasan Asia Tenggara.
  • Kekuatan pertahanan matra laut didukung udara Indonesia tertinggi dibandingkan Tiongkok dan Amerika tidak berimbang.
  • Kekuatan pertahanan matra laut didukung udara Indonesia tertinggi dibandingkan Australia cukup berimbang.

Disamping data diatas yang perlu menjadi perhatian:

  • Tiongkok yang membangun pangkalan aju di beberapa pulau pada LCS, serta upaya nyata menggunakan kekuatan negara untuk menegakkan klaim kewilayahan meski ditentang dunia internasional.
  • Perkuatan kekuatan pertahanan Filipina dari Amerika dan Australia.
  • Prinsip kebebasan bernavigasi yang ditetapkan banyak negara, utamanya Amerika dan Australia.

Atas hal-hal dimaksud dapat kita lihat betapa kekuatan pertahanan Indonesia untuk menghadapi ancaman kedaulatan belum cukup memiliki kemampuan menghadapinya. Untuk itu diperlukan sebuah langkah konkrit strategis yang harus dilakukan pemerintah Indonesia menghadapinya (dalam jangka pendek) diiringi program jangka panjang untuk menambah kekuatan melalui penambahan jumlah dan modernisasi kemampuan alat pertahanan yang dimiliki.

Pergeseran Markas Komando Armada -- Koarmada I TNI AL ke Pulau Bintan pada tanggal 5 Desember 2022 merupakan salah satu langkah strategis taktis yang dilakukan pemerintah untuk mendekatkan kekuatan matra laut pada area rawan konflik.[20] Selain itu, satuan operasional di jajaran Koarmada I pun turut bergeser seperti Gugus Keamanan Laut I (Guskamla I) dipindah ke Sabang, Aceh dan Gugus Tempur Laut I (Guspurla I) ke Ranai, Pulau Natuna -- tepat di sisi barat daya area yang selama ini memiliki kerawanan tinggi di Laut Natuna Utara. 

Pulau Natuna sebagai pulau dengan kemampuan pendukung memadai terdekat area rawan diperkuat juga dengan kehadiran Batalyon Komposit 1/Gardapati merupakan satuan multi korps pertama di lingkungan TNI AD pada tingkatan Batalyon. Dalam batalyon kompoasit ini tergabung 2 kompi Infanteri, 1 kompi Zeni Tempur, 1 baterai Arteleri Pertahanan Udara (Arhanud), 1 Baterai Arteleri Medan (Armed) Roket dan 1 kompi markas. Pasukan infanteri yang bergabung bukanlah dari satuan infanteri biasa melainkan dari satuan Raider bagian pasukan elite TNI AD sehingga mereka memiliki kemampuan individu lebih baik dari prajurit Infanteri pada umumnya.[21]

Untuk perkuatan matra udara saat ini berpangkalan di Lapangan Udara (Lanud) Raden Sadjad -- Ranai bermarkas Skadron Udara 52 TNI AU. Skadron ini mengadopsi pemanfaatan teknologi militer terkini dengan kekuatan utama pesawat-pesawat udara nirawak atau Unmanned Aerial Vehicle (UAV) berjenis CH (Chang Hong) 4-Rainbow. CH-4 sendiri masuk dalam kualifikasi MALE (Medium Altitude Long Endurance) dan merupakan drone kombatan -- Unmanned Combat Aerial Vehicle (UCAV).[22]

PENUTUP

            Berdasarkan studi komparatif yang dilakukan peneliti atas kekuatan Indonesia menghadapi ancaman kedaulatan di sekitar Laut Natuna Utara dapat kita lihat betapa kemampuan pertahanan kita masih belum cukup adekuat menghadapinya. Berbagai faktor penyebab tentunya menjadi dasarnya. Untuk itu dalam jangka pendek diperlukan strategi khusus untuk menghadapinya dan tentunya diimbangi dengan penambahan jumlah dan modernisasi kemampuan alat pertahanan.

REFERENSI

[1] Allard, T., Munthe B.C., Asserting sovereignty, Indonesia renames part of South China Sea, 2017, Reuters.com, https://www.reuters.com/article/us-indonesia-politics-map-idUSKBN19Z0YQ/

[2] Badan Informasi Geospasial, Kedudukan_Tugas_dan_Tanggung_Jawab_BIG, https://www.big.go.id/content/profil/

[3] Parameswaran, P., Why Did Indonesia Just Rename Its Part of the South China Sea?, 2017, Thediplomat.com, https://thediplomat.com/2017/07/

[4] Organisasi Hidrografi Internasional, Limits of Oceans and Seas, 3rd Edition, 1958, Organisasi Hidrografi Internasional

[5] UU 34/2004 tentang TNI Pasal 9

[6] Beranda Konten Islam.com, Kapal Survei China Leluasa Mondar-mandir di Natuna, Diduga Incar Cadangan Minyak Gas RI, 2021, Kontenislam.com, https://www.kontenislam.com/2021/10/

[7] Beranda Indonesia Ocean Justice Initiave,Ancaman IUUF dan Keamanan Laut Indonesia -- Oktober November 2021, 2021, https://oceanjusticeinitiative.org/2021/12/03/

[8] Beranda Benar News Indonesia, Data Ungkap Indonesia Kirim Kapal TNI AL untuk Buntuti Kapal Survei China di Natuna, 2021, Benarnewsindonesia.com, https://www.benarnews.org/indonesian/berita/

[9] Beranda Balai Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Pertahanan RI, Kapal TNI AL Diprovokasi Kapal Penjaga Pantai China, 2016, Kemenhan RI, https://www.kemhan.go.id/badiklat/2016/06/21/

[10] Akbar, N., KRI Tjiptadi-381 Usir Kapal Coast Guard Tiongkok di Natuna, 2020, Infopublik.id, https://www.infopublik.id/kategori/sorot-politik-hukum/429163/

[11] Yahya, A.N., Erdianto, K., Saat Bakamla dan Coast Guard China Bersitegang di Laut Natuna Utara..., 2020. Kompas.com., https://nasional.kompas.com/read/2020/09/15/06205561/

[12] Wijaya, C., Konflik Indonesia-Vietnam 'terancam terus berulang' selama belum ada kesepakatan Zona Ekonomi Ekslusif, 2019, Bbcnewsindonesia.com, 2019, Bbcnewsindonesia.com, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-48103607

[13] Indo-Pasific Defense Forum, Lebih dari 5.000 personel militer Tiongkok tinggal di pulau-pulau Laut Cina Selatan, 2022, https://ipdefenseforum.com/id/2022/10/lebih-dari-5-000-personel-militer-tiongkok, diakses 22 Mei 2024

[14] Antara, Tiongkok bangun landasan terbang di pulau sengketa, 2014, Antaranews.com, https://www.antaranews. com/berita/457560/

[15] Antara, 2014

[16] CNN Indonesia, Mengapa Taiwan Tak Dianggap sebagai Suatu Negara?, 2022, Cnnindonesia.com, https://www.cnnindonesia.com/internasional/20220904071709-113-842940/

[17] Maulana, F.R., Repindowaty, R., Analisis Putusan Permanent Court of Arbitration Terhadap Klaim Nine Dash Line: Studi Kasus Klaim Wilayah Natuna Utara, 2020, Journal of International Law 1(2)

[18] Felix K. Chang (2023). US-Philippines Enhanced Defense Cooperation Agreement Revived. www.fpri.org. Diakses 20 Maret 2024

[19] Bachmann, S.D., Konflik di Laut Cina Selatan dan Mengapa Penting Bagi Australia, 2022, www.international affairs.org.au. Diakses 21 Maret 2024

[20] Yahya, A.N., Prabowo, D., Markas Koarmada I Resmi Pindah ke Tanjungpinang, 2022, Kompas.com., https://nasional.kompas.com/read/2022/12/05/13395081/

[21] Ashab, M.B., Perkuat Pertahanan di Natuna, Pangdam Bukit Barisan Resmikan Batalion Komposit, 2018, Sindonews.com,  Muhammad Bunga Ashab https://daerah.sindonews.com/berita/1328186/174/

[22] Perdana, G., Jaga Garda Terdepan Di Natuna, TNI AU Resmikan Skadron "Drone" Udara 52, 2021, Indomiliter.com, https://www.indomiliter.com/jaga-garda-terdepan-di-natuna-tni-au-resmikan-skadron-drone-udara-52/#google_vignette

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun