PEDAHULUAN
      Senin, 29 Oktober 2018 merupakan hari kelam bagi penerbangan komersial tanah air. Pagi itu, salah satu armada terbaru milik maskapai penerbangan swasta nasional bernomor kode penerbangan JT-610 hilang kontak dengan Air Traffic Contor-ATC bandara Internasional Soekarno-Hatta sesaat setelah menyatakan keadaan darurat dan minta ijin melakukan prosedur RTB (Return to Base) setelah mengudara sekitar 13 menit (Pukul 06.33 wib). Pesawat itu berisikan 181 orang, terdiri dari 124 laki-laki, 54 perempuan, 1 anak-anak, dan 2 bayi (Kompas, 2018). Pukul 06.50 wib Badan Pencarian dan Pertolongan atau Basarnas menerima berita hilang kontak dan segera melakukan aksi pencarian.
      Berbagai komponen negara yang memiliki kemampuan penyelaman dikerahkan termasuk diantaranya Dinas Penyelamatan Bawah Air Komando Armada I (Dislambair Koarmada I) yang menerjunkan tim yang kala itu dipimpin langsung oleh Kadislambair Kolonel Laut (E) Monang Sitompul. pencarian simultan dilakukan hingga pada hari rabu, 31 Oktober berkat kemampuan sonaring KRI Rigel-933 letak ordinat pesawat di lokasi kejadian berhasil dideteksi (Detik News, 2018), pukul 10.30 wib kontak visual secara langsung terhadap sisa keping pesawat berhasil dilakukan oleh personel penyelam dislambair yang melakukan kegiatan pengecekan atas titik yang diberikan KRI Rigel-933.
      Proses evakuasi korban kemudian secara simultan dilakukan hingga pada hari jum'at sekitar pulul 16.30 wib terjadi sebuah musibah. Syachrul Anto (48 tahun) seorang penyelam profesional yang turut bergabung dengan tim evakuasi mengalami kecelakaan penyelaman. Syachrul Anto sendiri merupakan anggota Indonesian Diver Rescue Team, sebuah organisasi penyelaman profesional swasta yang bergerak dibidang rescue atau penyelamatan (Syafrudin dalam BBC News Indonesia, 2018). Setelah sempat dievakuasi ke RSUD Kodja, malam itu Syachrul Anto dinyatakan meninggal oleh ketua satuan tugas SAR, Kolonel Laut Isswarto dengan penyebab dekompresi.
      Dekompresi sendiri adalah sebuah keadaan yang menyebabkan kelainan dalah sistem pernafasan manusia akibat pelepasan & pengembangan gelembung-gelembung gas dari fase larut dalam darah/jaringan akibat penurunan tekanan udara sekitar secara tidak normal. Faktor penyebabnya (pada dunia selam) tekanan udara tidak atau terlambat diturunkan ke tekanan udara normal paru-paru pada sebuah aktifitas penyelaman lebih dari 10 meter (Kwandou, 2016)
      Mengingat bahayanya kondisi dekompresi bagi seorang penyelam, naskah ini disusun
Masalah dan Pembahasan
Masalah
      Permasalahan terkait dekompresi pertama diketahui oleh seorang ahli sisiologi berkebangsaan Perancis bernama dr. Paul Bert tahun 1876. Kala itu, beliau melihat penyakit yang terjadi pada para pekerja di terowongan bawah tanah dengan keluhan nyeri hebat dikepala dan sesak di dada. Dalam pemeriksaan lanjut, ditemukan kadar (gelembung) nitrogen dalam tubuh (Jalul, 2007). Saat, dr. Paul Bert menarik sebuah kesimpulan bahwa hal ini terjadi akibat cara dekompresi yang salah ketika para pekerja kembali ke atas permukaan tanah.
      Di bidang penyelaman, secara umum terdapat 3 metode penyelaman yaitu: breath-hold diving, ''bounce'' diving with breathing apparatus, dan saturation diving.Breath-hold diving (Lezett, 2008). Metode pertama, adalah metode penyelaman terbanyak menyebabkan kelainan akibat dekompresi. Berdasarkan sumber DAN-Divers Alert Network, antara tahun 1994 hingga 2003 tercatat kasus penyelaman terkait masalah dekompresi berat sebanyak 131. Dari angka ini hampir keseluruhan menyebabkan kefatalan (98 %) dengan korban terbanyak pria dewasa-88 % dari korban fatal (Pollok, 2006).