Lalu selama pandemi, teknologi informasi dan komunikasi melaju teramat cepat, jauh melebihi kesiapan mental mereka dalam menghadapi serangan konten atau budaya asing yang belum tentu layak patut diikuti.Â
Para remaja menjadi korban gaya hidup yang sama sekali tidak asli Indonesia, seperti pergaulan bebas yang menjurus ke free sex dan kehidupan malam dengan segala bumbunya; judi, merokok, narkoba, seks dan minuman keras.Â
Dalam sakitnya, generasi muda secara perlahan telah bertransformasi menjadi pemuja hedonisme juga.
Pertanyaan krusialnya adalah, bagaimana harus memperbaikinya? Pastilah sangat kompleks sekali untuk memberikan solusinya, karena bisa ditinjau dari berbagai aspek. Melibatkan atau menuntut pemerintah, pendidikan sekolah, orang tua.Â
Namun karena ini menyangkut siswa, dan mengalaminya adalah siswa itu sendiri, adalah baiknya jika kita lihat dari aspek siswa itu sendiri. Sudah saatnya kini siswa-siswa harus memaksakan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Karena tidak mungkin siswa itu tidak memiliki tujuan hidup.Â
Hidup terus bergerak dan perubahan terjadi dengan cepat. Jangan pernah menyalahkan keadaan kalau selalu terus blocking dengan berkata tidak bisa. Bukankah Hidup adalah proses untuk terus belajar, karena semakin banyak belajar, maka akan semakin ahli dan semoga semakin sukses?
Tidak selalu tindakan memaksakan diri itu berakibat buruk. Walaupun memang tidak ada seorang pun yang suka di paksa.
Namun, memaksa diri sendiri yang dimaksud di sini adalah dalam batasan yang jelas. Maksudnya, mereka harus tahu sampai mana dia sanggup dan mungkin untuk memaksa dirinya untuk mencapai tujuannya.Â
Memaksa diri untuk berkembang
Sudah waktunya siswa untuk keluar dari zona nyaman, bukan cuma rebahan. Bisa jadi selama pandemi ini siswa sudah nyaman dengan santai belajar karena toh akan naik kelas.Â
Untuk keluar dari zona ini, logikanya harus ada paksaan. Paksaan biasanya dari luar yang mau tidak mau membuatnya keluar dari zona nyaman.