Ada kegalauan di hati ini, kalau memikirkan tentang masa depan generasi muda bangsa ini. Generasi muda yang di pundak merekalah masa depan bangsa ini dipertaruhkan. Dalam soal prestasi, anak-anak muda Indonesia tidak kalah hebat dibanding dengan anak -anak negara lain.Â
Buktinya sering kali mereka menjadi juara olimpiade matematika atau fisika. Mereka juga cukup kreatif, terbukti lagu-lagu dan film garapan anak negeri diakui di kancah dunia.Â
Prestasi di bidang olahraga, misalnya, juga tidaklah jelek-jelek amat. Tetapi lihatlah mentalitas dan moralitas mereka yang mencapai titik nadir.Â
Kasus mencontek yang sudah menjadi hal lumrah, kasus tawuran antar pelajar yang masih belum sepi dari pemberitaan media, kasus kekerasan genk motor.Â
Penganiayaan dan kekerasan di sekolah. Kasus kehamilan dan aborsi yang cenderung meningkat. Kasus penyalahgunaan narkoba dan minuman keras. Kasus pencurian yang dilakukan remaja. Meningkatnya jumlah anak gelandangan dan pengemis jalanan. Dan sebagainya dan sebagainya.
Secara umum, generasi muda kita sedang sakit.Â
Generasi muda kita sakit karena sesungguhnya mereka telah menjadi korban sistem pendidikan yang tidak beres. Di sekolah, mereka dijajah oleh sistem pendidikan yang menciptakan kondisi mengerikan.Â
Di mana mereka disekap di dalam ruang empat persegi, hak- hak mereka untuk bermain dan bergembira dirampas, otak mereka dijejali setumpuk materi yang menyesakkan.Â
Apalagi semasa pandemi seperti saat ini, pendidikan sekolah menjadi kabur dan membuat bumerang bagi siswa. Selama pandemi sekolah membuat kesan bahwa setiap siswa harus diluluskan atau naik kelas.Â
Banyak siswa yang bahkan tidak aktif dalam belajar daring selama ini di luluskan. Hal ini membuat siswa yang rajin dan aktif menjadi tidak serius lagi belajar karena sudah beranggapan pasti lulus kok. Semua ini membuat siswa itu tidak lagi mau menghargai proses belajar.
Lalu selama pandemi, teknologi informasi dan komunikasi melaju teramat cepat, jauh melebihi kesiapan mental mereka dalam menghadapi serangan konten atau budaya asing yang belum tentu layak patut diikuti.Â
Para remaja menjadi korban gaya hidup yang sama sekali tidak asli Indonesia, seperti pergaulan bebas yang menjurus ke free sex dan kehidupan malam dengan segala bumbunya; judi, merokok, narkoba, seks dan minuman keras.Â
Dalam sakitnya, generasi muda secara perlahan telah bertransformasi menjadi pemuja hedonisme juga.
Pertanyaan krusialnya adalah, bagaimana harus memperbaikinya? Pastilah sangat kompleks sekali untuk memberikan solusinya, karena bisa ditinjau dari berbagai aspek. Melibatkan atau menuntut pemerintah, pendidikan sekolah, orang tua.Â
Namun karena ini menyangkut siswa, dan mengalaminya adalah siswa itu sendiri, adalah baiknya jika kita lihat dari aspek siswa itu sendiri. Sudah saatnya kini siswa-siswa harus memaksakan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Karena tidak mungkin siswa itu tidak memiliki tujuan hidup.Â
Hidup terus bergerak dan perubahan terjadi dengan cepat. Jangan pernah menyalahkan keadaan kalau selalu terus blocking dengan berkata tidak bisa. Bukankah Hidup adalah proses untuk terus belajar, karena semakin banyak belajar, maka akan semakin ahli dan semoga semakin sukses?
Tidak selalu tindakan memaksakan diri itu berakibat buruk. Walaupun memang tidak ada seorang pun yang suka di paksa.
Namun, memaksa diri sendiri yang dimaksud di sini adalah dalam batasan yang jelas. Maksudnya, mereka harus tahu sampai mana dia sanggup dan mungkin untuk memaksa dirinya untuk mencapai tujuannya.Â
Memaksa diri untuk berkembang
Sudah waktunya siswa untuk keluar dari zona nyaman, bukan cuma rebahan. Bisa jadi selama pandemi ini siswa sudah nyaman dengan santai belajar karena toh akan naik kelas.Â
Untuk keluar dari zona ini, logikanya harus ada paksaan. Paksaan biasanya dari luar yang mau tidak mau membuatnya keluar dari zona nyaman.
Misalnya, persaingan mendapat kursi di dunia perkuliahan atau pekerjaan yang membuat nya untuk tidak kalah bersaing.Â
Nah alangkah baiknya jika tidak harus menunggu paksaan dari luar agar bisa maju dan berkembang untuk keluar dari zona nyaman. Siswa harus mulai mencoba memaksa diri secara wajar agar mau melangkah dan mengembangkan diri menjadi lebih baik lagi.Â
Memaksa diri untuk segera mengerjakan
Siswa zaman sekarang banyak yang menjadi siswa prokrastinator, punya kebiasaan menunda-nunda pekerjaan. Semua tugas yang seharusnya diselesaikan tepat waktu malah tidak bisa selesai akibat suak menunda.Â
Sudah saatnya sekarang siswa harus memmaksa diri untuk segera mengerjakannya. Memang pasti sulit pada awalnya, tetapi jika siswa konsisten memaksa dirinya untuk segera mengerjakannya, nantinya siswa akan terbiasa untuk selalu tepat waktu dan tidak lagi mempunyai sikap yang merugikan ini.
Memaksa diri menghargai proses
Setiap siswa pasti punya target karena sadar bahwa keberhasilan adalah hal mutlak yang harus diraih. Dan sebenarnya menharapkan hasil yang terbaik itu adalah sah-sah saja.Â
Tetapi keberhasilan tidak dapat dicapai begitu saja. Siswa harus paham betul bahwa ada hal-hal yang lebih penting dari sekedar keberhasilan, yaitu sebuah proses.Â
Perjalanan seseorang dalam menuju kesuksesan penuh liku-liku dan tantangan yang harus dihadapi. Tak jarang itu membuat orang menyerah bahkan saat dia sudah sangat dekat dengan kesuksesan tersebut.Â
Jadi dalam hal ini memaksakan diri untuk bertahan menikmati proses adalah hal yang baik. Karena semuanya akan terbayar lunas dengan kesuksesan di masa depan. Jadi tanpa disadari , hasil positif dari memaksakan diri menghargai proses adalah tumbuhnya sikap disiplin yang kuat dalam diri.
Jadi, jalankanlah apa yang memang harus dijalankan dengan konsisten dan sabar.
Selamat memaksakan diri...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI