Pada tulisan sebelumnya, saya mengatakan, bahwa secara teoritis perilaku diktator merupakan cerminan dari kecenderungan individu atau kelompok untuk memegang kekuasaan yang absolut, otoriter, dan otoritarian dalam berbagai situasi.Â
Perilaku ini ditandai oleh keinginannya yang kuat untuk mengendalikan orang lain, merasa superior, dan membatasi kebebasan individu. Secara politik, perilaku diktator mencerminkan ketidakberpihakan pada demokrasi, kebebasan, dan hak-hak asasi manusia yang mendasar.Â
Artinya, bahwa perilaku diktator dapat dijelaskan melalui beberapa dimensi. Pertama, seorang diktator selalu mengejar kekuasaan untuk memperoleh kontrol mutlak, atas orang lain.
Kedua, seorang yang berperilaku diktator menerapkan kekuatan, intimidasi, dan manipulasi untuk memaksakan kehendak mereka. Ketiga, aspirasi biasanya diletakkan pada ambisi pribadi, kebutuhan akan dominasi, atau keyakinan, bahwa mereka merasa serba tahu apa yang terbaik untuk orang lain ?!
Perilaku diktator juga mencerminkan penindasan hak-hak asasi manusia. Diktator sering melanggar hak atas kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, kebebasan berserikat, dan kebebasan berpikir.Â
Mereka membatasi akses terhadap informasi, menghukum atau menahan tanpa proses hukum yang adil, dan menggunakan kekerasan untuk menekan oposisi. Dalam prosesnya, mereka menghancurkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan kemerdekaan.
Perilaku diktator juga dapat dikaitkan dengan korupsi dan nepotisme. Diktator sering menggunakan kekuasaan mereka untuk memperkaya diri sendiri dan kelompok-kelompok yang dekat dengan mereka.Â
Para diktator mengeksploitasi sumber daya, mencuri dana publik, dan memberikan keuntungan ekonomi hanya kepada kelompok yang mereka pilih.Â
Perilaku diktator yang diindikasikan sebagai perilaku korup ini, akan merugikan masyarakat secara keseluruhan, menyebabkan ketidakadilan sosial, dan menghambat pembangunan yang berkelanjutan.
Perilaku diktator memiliki implikasi sosial dan psikologis yang mendalam. Diktator menciptakan lingkungan yang penuh ketakutan, ketidakamanan, dan pengawasan yang kaku.Â
Orang-orang yang terdampak perilaku diktator ini, akan hidup dalam bayang-bayang penindasan dan tidak berdaya untuk mengekspresikan diri mereka secara bebas.Â
Ketidakadilan sosial, represi, dan kekerasan yang terjadi dalam suasana kediktatoran dapat menyebabkan gangguan emosional, stres, kecemasan, dan bahkan trauma, secara individual maupun kemasyarakatan.
Selain itu, perilaku diktator dapat menghancurkan demokrasi, progresivitas sosial, dan stabilitas politik suatu masyarakat dan/atau negara.
Dengan menindas kebebasan berpendapat, mengontrol media, dan meredam oposisi, diktator menciptakan lingkungan yang tidak memungkinkan pertukaran ide yang bebas, kolaborasi, dan partisipasi publik yang sehat. Hal ini menghambat perbaikan kesejahteraan sosial, inovasi, dan perkembangan pemikiran, bahkan spiritualitas.
Munculnya perilaku diktator, disebabkan oleh banyak faktor, baik dari individu diktator itu sendiri, maupun faktor-faktor eksternal yang mempengaruhinya. Berikut ini ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap munculnya perilaku diktator:
Keinginan kuat untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Sekarang ini, makin banyak individu-individu yang memiliki ambisi besar, untuk mengendalikan orang lain dan mengejar kekuasaan yang absolut, melalui banyak cara, seperti: membuat peraturan yang mengebiri kebebasan, mendirikan organisasi formal, di dalam organisasi yang juga formal, membuat pengurus tandingan, dan lain sebagainya.Â
Mereka-mereka ini mungkin merasa superior atau memiliki hak istimewa yang membenarkan dominasi mereka, atas orang lain. Dorongan ini dapat memicu perilaku diktator untuk mencapai tujuan mereka.
Kehilangan legitimasi secara politik. Terkadang, diktator muncul ketika terjadi kekacauan politik, ketidakstabilan, atau ketidakpuasan yang meluas dalam masyarakat. Mereka berusaha memanfaatkan situasi ini untuk mengambil alih kekuasaan dan menawarkan stabilitas atau solusi.
Lingkungan politik yang otoriter. Perilaku diktator juga dapat dipengaruhi oleh lingkungan politik yang otoriter atau otoritarianisme, yang melekat dalam sistem politik dan budaya.Â
Jika terdapat tradisi otoriter dan sejarah kelompok yang menggunakan kekerasan, dan manipulasi untuk mengendalikan kekuasaan, maka individu-individu tertentu dapat tertular, tertarik dan terinspirasi untuk mengikuti jejak tersebut.
Ketidakmampuan menerima kritik dari kelompok formal maupun non formal. Beberapa individu yang cenderung diktator memiliki kesulitan dalam menerima kritik. Mereka memiliki kecenderungan untuk merasa lebih pintar, lebih berhak, dan tidak membutuhkan input atau perspektif dari orang lain. Hal ini dapat memicu perilaku otoriter yang menindas kebebasan berpendapat dan mengontrol informasi.
Pergaulan dengan lingkungan yang mendukung perilaku diktator. Individu yang memiliki kecenderungan diktator seringkali dikelilingi oleh orang-orang yang mendukung, yang akan memperkuat sikap dan pandangan mereka. Mereka mungkin mendapatkan dukungan dari kelompok lain, seperti: militer, polisi, atau elite politik, yang mendapatkan manfaat dan keuntungan dari perilaku diktator tersebut.
Penting untuk kita catat, bahwa setiap situasi, secara individual memiliki kompleksitas dan faktor yang unik, sehingga tidak ada satu argumen tunggal yang mampu menjelaskan secara gamblang, bagaimana munculnya perilaku diktator tersebut. Oleh karena itu, dampak berbahaya dari adanya perilaku diktator ini, antara lain:
- Penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Diktator cenderung menggunakan kekuasaan mereka untuk menekan, membatasi, atau melanggar hak asasi manusia, baik secara individual atau kelompok tertentu. Hal ini meliputi penangkapan sewenang-wenang, penahanan tanpa proses hukum yang adil, penyiksaan, dan pembatasan kebebasan berbicara, beragama, atau berorganisasi.
- Keengganan menerima kritik. Diktator memiliki kecenderungan untuk menolak segala bentuk kritik. Mereka sering mendiamkan atau menindas siapa pun yang berani menyuarakan pendapat yang berbeda atau menantang kekuasaan mereka. Hal ini dapat menghambat perkembangan demokrasi dan kebebasan berpendapat.
- Kekerasan dan konflik. Diktator seringkali mempertahankan kekuasaan mereka melalui represi dan kekerasan. Pengekangan terhadap hak-hak individu, kebijakan yang tidak adil, dan ketidakpuasan sosial yang tercipta, dapat memicu protes, pemberontakan, dan bahkan perang saudara di dalam negara. Dampaknya adalah terjadinya penderitaan manusia, kerusakan infrastruktur, dan kesulitan ekonomi.
- Korupsi dan nepotisme. Diktator seringkali memanfaatkan kekuasaan mereka untuk memperkaya diri sendiri dan kelompok dekat mereka. Korupsi merajalela, sumber daya negara dieksploitasi secara tidak adil, dan nepotisme dalam pemberian jabatan dan keuntungan ekonomi terjadi. Hal ini merugikan masyarakat secara umum, karena pembangunan dan kesempatan ekonomi tidak merata dan keadilan sosial terabaikan.
- Gangguan psikologis masyarakat. Kehidupan di bawah rezim diktator dapat menciptakan ketakutan dan rasa tidak aman di antara warga negara. Orang-orang mungkin merasa terancam, tidak berdaya, atau hidup dalam ketegangan yang konstan. Dampak tersebut dapat menyebabkan gangguan psikologis seperti stres, kecemasan, depresi, dan trauma pada individu serta masyarakat secara keseluruhan.
Pada akhirnya, kita dapat menyimpulkan, bahwa perilaku diktator memiliki dampak yang merugikan bagi orang bayak, baik secara individu maupun kolektif. Melawan dan memerangi perilaku diktator adalah penting, untuk membangun masyarakat yang inklusif, adil, dan demokratis, dalam rangka menghormati hak asasi manusia dan kebebasan individu. Wallahu A'lamu Bishshawwab.
Bekasii. 7 Juli 2023.
Oleh. Purwalodra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H