Mohon tunggu...
Adi Darmawan
Adi Darmawan Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah bahasa Inggris, peminat bahasa-bahasa, hidrologi, dan geografi

Dengan belajar bahasa asing, sudut pandang bangsa lain dapat dipahami. Dengan belajar hidrologi, keseimbangan dan ketidakpastian alam dihayati. Dengan belajar geografi, perbedaan di muka bumi disyukuri.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Buya Syakur dalam Silang Kepentingan: Melepas Kepergian Sang Mursyid Sufi Rasional

25 Januari 2024   23:16 Diperbarui: 26 Januari 2024   08:33 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jelas bahwa seorang pimpinan pesantren yang mempunyai pandangan progresif kontekstual seperti itu tidak terlalu disukai oleh ustadz-ustadz lain yang berpandangan puritan tekstual. Setelah nama KH Abdul Syakur Yasin, MA muncul sebagai suatu kanal di YouTube, bukan hanya penggemar Buya Syakur yang bertambah, melainkan juga pembencinya. (Sebenarnya pengajian Buya Syakur ditayangkan di YouTube pada awalnya bukan atas gagasannya sendiri, namun atas bujukan beberapa sahabatnya, "Sayang kalau hanya kami-kami saja yang tahu.")

Motto Buya Syakur yang bunyinya, "Aku hanya ingin berbagi kebahagiaan, dan tidak menggurui siapapun. Terlalu sulit bagiku untuk menyalahkan siapapun. Akan tetapi apabila ada orang yang ingin mengisi raportku, tentu aku sangat gembira sekali, dan, kujamin, aku tidak akan sakit hati sedikitpun", terbukti benar dipraktikkannya baik di panggung maupun di kesehariannya. Kita tidak pernah menyaksikannya marah, bicara dengan keras pun tidak pernah. Paling pol, seperti kata seorang sahabatnya, psikolog YF "Hans" La Kahija, Buya kalau sedang marah hanya menghela napas panjang. Cukuplah kesaksiannya menjadi bukti bahwa apa yang dikatakan Buya Syakur dalam motonya itu memang benar dari hatinya dan dilaksanakan sepenuhnya. Lihat saja sikap dan ekspresi para pembawa acara siarannya di YouTube baik Pak Taswirul Afkar (Kepala MTs Pesantren Cadangpinggan), Pak Tato Nuryanto (dosen di IAIN Syekh Nurjati, Cirebon), maupun Bu Ani Rozani; mereka semua santai saja duduk di depan kamera tidak jauh dari tempat duduk Buya Syakur tanpa kelihatan takut. Bahkan dalam video-video ceramah Buya Syakur yang disiarkan oleh kanal-kanal YouTube tidak resmi, seperti TVABAH, di mana ceramahnya banyak diselipi penjelasan Buya Syakur dalam bahasa Indramayu, di video-video itu sering terdengar jama'ah menceletuk, dan Buya pun menanggapi celetukan itu seperti layaknya percakapan antarteman saja, diiringi derai tawa dari kedua pihak. Saya rasa, bekal tasawuf yang dimiliki Buya Syakur telah mendekatkan jarak batin antara kiai dan jama'ahnya. Pendekatan cinta kepada Allah. Kalau sekedar syari'ah (baca: fiqih) saja yang disampaikan, sekedar boleh tidak boleh, maka yang timbul adalah rasa takut kepada Allah. Kedua-duanya perlu. Perlu berharap kepada Allah, sekaligus takut kepada-Nya. Tapi semuanya itu terlingkupi oleh cinta kepada Allah. Dapat uang, alhamdu lillah. Tidak dapat uang, alhamdu lillah. Uangnya hilang, alhamdu lillah juga, karena sedemikian cinta-Nya kepada Allah, pokoknya apapun kehendak Allah tetap disyukuri. Maka Buya Syakur pun mengritik sesama da'i yang memasang tarif ceramah sebagai sekedar profesi, bukan karena perintah Allah. Sedangkan dia seperti tidak percaya bahwa Allah pasti memberinya rezeki, bagaimana mungkin dia menyadarkan orang lain bahwa Allah Maha Pemberi Rizqi?

Dalam acara Muktamar Sufi Internasional bersama Syekh Yusri Rusydi, seorang mursyid tarekat dan dokter bedah dari Al-Azhar, Mesir
Dalam acara Muktamar Sufi Internasional bersama Syekh Yusri Rusydi, seorang mursyid tarekat dan dokter bedah dari Al-Azhar, Mesir

Maka ganjil sekali pendapat sebagian orang, baik ulama maupun awam, bahwa Buya Syakur itu liberal, sekuler, atau pluralis, atau yang dengan nyinyir disingkat menjadi "sepilis". Dalam suatu ceramahnya, Buya Syakur menyatakan bahwa dia berpikiran dinamis, bukan liberal, karena liberal itu berarti "tidak berbatas", padahal dia menyatakan yang salah itu tetap salah, bukan dicari pembenarannya. Akan tetapi, bila ayat suci atau hadits yang muncul 14 abad yang lalu itu diterapkan begitu saja di masa kini, itu sama saja dengan mengingkari kedinamisan peradaban yang sudah makin maju. Mengenai sekulerisme, Buya sering menerangkan sejarah jatuhnya ribuan korban nyawa ulama Ahlis Sunnah Wal Jama'ah di masa pemerintahan Khalifah Al-Ma'mun, khalifah Bani Abbasiyah anak dari Khalifah Harun Al-Rasyid, di mana khalifah yang sedang berkuasa ini beraliran Mu'tazilah dan karenanya mencoba membasmi aliran Ahlis Sunnah. Di satu sisi, Khalifah Al-Ma'mun ini memajukan ilmu dan teknologi, tapi di sisi lain ia juga membunuh banyak ulama Islam yang berbeda pandangan teologinya darinya. Buya Syakur mengingatkan betapa berbahayanya jika satu aliran agama Islam dijadikan ideologi hukum (karena tertindasnya orang Islam yang alirannya berbeda daripada aliran yang diakui negara), sekaligus mengingatkan betapa mustahilnya jika semua aliran agama Islam dijadikan sumber hukum.

Singkatnya, ketika ada yang mengritik ucapannya, ia selalu berkomentar agar orang itu datang ke pesantrennya supaya bisa berdiskusi sehingga jelas duduk perkaranya, bukan malah berpolemik di dunia maya. Nyatanya, mereka tidak ada yang datang. Bagi mereka memang lebih baik tidak datang, daripada kalah dalil, lalu ditinggal pengikutnya. Sedangkan Buya Syakur tetap berlanjut mendidik umat mengaktualkan ajaran Islam, agar di masa depan -- seiring makin majunya pola pikir manusia -- agama ini tidak ditinggal pemeluknya, sebagaimana telah ia saksikan sendiri bahwa agama Kristiani telah banyak ditinggal pemeluknya di Eropa. Tampak ada silang kepentingan di sini, yang timbul dari perbedaan wawasan.

Sekarang, dengan telah berpulangnya Allah yarham Buya Syakur, kita nantikan apakah pesantren yang ditinggalkannya mampu terus melestarikan pola pikir dan pola laku yang telah dirintisnya, dan apakah pengikutnya di seantero Tanah Air, Malaysia, dan negara-negara lain mampu menggemakan semangat ajarannya seiring bergulirnya zaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun