Mohon tunggu...
Cerita Doktor Dharma
Cerita Doktor Dharma Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STIE Satya Dharma Singaraja, Bali

Ada benci dan cinta, siapa menang? Yang sering engkau beri makan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sejarah Diri

21 Januari 2025   06:30 Diperbarui: 20 Januari 2025   12:51 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diri (Sumber: Pinterest, Cool Baby Blue)

Peradaban suka duka, terang maupun gelap mengantarkan diri pada subyek barunya. Dari irasional yang sering dianggap gila hingga rasional yang dipandang ilmiah. Alurnya berkisah tentang kegalauan diri dalam memproduksi moral dan material yang tiba pada kematiannya secara terhormat.

Aktor utamanya diri sendiri. Sosok yang lahir dari ordo ke ordo dalam menguak tabir hidup. Dari berburu, bercocok tanam, beternak, berdagang, dan industri hingga bersosialita di dunia maya. Dari kerajaan hingga kuil suci dan republik yang ditempa oleh kekuasaan, kebenaran, dan keadilan. Bila kebatilan hadir, segera kebajikan menghajarnya. Seringnya dia jatuh, namun bangkit lagi.

Genom

Diri dari jaman ke jaman menempatkan pertukaran sebagai dewanya. Pertukaran bersemayam, menyusup, dan bergerilya dari tangan kelas yang kalah ke tangan kelas yang menang. Pertukaran hendaknya diartikan dalam arti luas seperti komoditi, barang, jasa, kenangan, kepentingan, pengalaman, keterampilan, pengetahuan, teknologi, budaya dan bahkan kepercayaan. Tidak salah bila dikatakan setiap diri memiliki dagangannya sendiri. Dengan begitu dapat dikatakan pertukaran adalah genom yang mengendap di setiap DNA.

Pertukaran dipadu dengan nilai-nilai keyakinan, yang diduga sukses meracik budaya. Inilah yang disinyalir menyatukan pandangan hidup bersama sebagai entitas dengan cara menaati dan menyesuaikan adat istiadat dengan perubahan. Doktrin ini dikenal dengan eling.

Dengan kata lain eling merupakan strategi pertahanan dalam beraktivitas. Dari era prasejarah hingga modern. Dari jaman batu hingga internet. Sungguh epos penuh roman yang bercerita tentang perjuangan diri dalam mempertahankan hidup dan keberadaannya.

 

Epos

Konon, eling sanggup menarik perhatian jagat raya. Pasca ditemukannya mesiu, kompas, mesin cetak, dan mesin uap, industri maju pesat. Pabrik dibangun. Barang diproduksi besar-besaran. Dan mereka yakin surga yang diidam-idamkan segera datang. Namun, malang nasibnya, wabah dan krisis melanda. Memporak-porandakan harapan. Tetesan peluh malah menjadi malapetaka. Surga yang terang berubah menjadi neraka kelam. Singkat cerita, mereka mempertanyakan kembali kejayaan industri sebagai mekanik kemakmuran. Akhirnya mereka sepakat untuk mencari negeri yang belum terjamah oleh tangan-tangan usil.

Mula-mula mereka tiba di daratan yang luas dan primitif. Ini bukanlah yang diinginkan. Pencarian pun dilanjutkan. Tibalah mereka di semenanjung indah. Suatu pulau yang penuh dengan sun, sea, and sex. Ada sesuatu yang kurang. Alias ada sesuatu yang hilang. Dan ini bukanlah yang diidam-idamkan.

Suatu senja indah, tibalah mereka di negeri tak bertuan. Mereka terpesona. Terbelalak menyaksikan kehidupan yang otentik, estetik, magis, dan religius. Sesuatu yang perawan. Nilai-nilai kepercayaan, budaya, pandangan hidup bersama dan adat istiadat menyatu dalam keseharian. Sun, sea, sex, and culture menjadi oromatiknya.

 

Sejak itu, diri dikenal sebagai tontonan yang mulai ramai dikunjungi. Seantero jagat memuji dan memujanya. Pelbagai gelar diberikan kepadanya, yang konon tersirat dalam catatan kuno terkait tanah, air, api, udara, dan angkasa. Efek akulturasi ini memperkaya kebudayaan dan bersumpah menjaga harmonisasi di antara manusia, alam, dan lingkungan.

Bertolak dari epos di atas pertukaran adalah mesin alamiah yang bertugas untuk meningkatkan kualitas diri. Mengapa? Karena pada dasarnya diri adalah makhluk homo esparans sekaligus homo ekonomikus, yakni makhluk yang selalu berharap menjadi lebih baik melalui pertukaran.

 

Jalan Cerita

Setelah pikiran selesai mendesain materi, diri dihadapkan pada ketidakpastian yang mencekam. Diri memohon agar moral sebagai sumber pencarian material. Optimisme ini segera ditentang oleh dirinya sendiri yang meyakini bahwa material sebagai sumber perbaikan moral.

Keduanya kekeh dalam mengemukakan doktrin tentang kemakmuran. Saling gigit, yang akhirnya terombang-ambing di antara dengki dan balas dendam. Dengan cara ini kerja bangkit sebagai kegiatan dasar dalam beraktivitas. Kerjalah yang membedakan sekaligus menyatukannya. Niscaya kebahagiaan di dekap.

Keterikatan dan kepemilikan tersenyum, menyetujui syarat itu. Kemudian sangka kala pun mulai didaraskan dalam kisah kesatria ini. Sesekali kegembiraan muncul menyusun kenikmatannya. Seketika itu juga kesedihan menyusul dua kali lipat menata kemelaratannya.

Tradisi sudah lama mengisahkan kepiluan ini dengan jalan dharma. Peziarahan ke kuil-kuil suci dilakoni. Upacara pengorbanan di gelar. Namun, perang tak terelakkan juga. Setelah tradisi rada sekarat, modernisasi muncul, dan mengajarkan bahwa definisi kerja sebagai kegiatan dasar harus ditelaah kembali. Bila dulu kerja sebagai input dan investasi, kini kerja sebagai norma bahkan kerja adalah persembahan.

Karena keegoan memikat hati, akhirnya kerja mengasingkan diri ke hutan lebat bersama kemalasan. Saling tuding pun terjadi. Hubungan kerja pecah, perjanjian kerja terabaikan. Serta merta kegelapan pun melanda.

Dalam pengasingannya itu, kerja mengobati dirinya sendiri. Komitmen dibangun, integritas dijunjung, tegur sapa, dan saling balas membantu dihangatkan. Tak pelak kemudian, diri menjadi akrab, tunduk pada ketaatan dan kedisiplinan. Teriakan dan lolongan yang dulu keras kini terdengar sanyup-sanyup.

Dalam waktu singkat, diri menguasai pengetahuan, keterampilan, dan teknologi. Kebajikan dan kebatilan diselaraskan. Targetnya menumbangkan kekuasaan lama yang kropos dan memindahkannya dari tangan kelas yang kalah ke tangan kelas yang menang.

Tak lama kemudian, dunia yang dulu bulat kini kian mendatar. Tatanan berubah. Yang cepat dipastikan mengalahkan yang lambat. Menerima adalah takdir. Terpuruknya rezim manual ke digital membuat kenikmatan berumur pendek. Taktala wabah melanda, takaran kepantasan terus diburu.

Obsesi terakhirnya adalah menalarkan iman dan mengimankan nalar dengan merindukan, mendengar, mengikuti, meyakini, bertanya, dan melakoni hakekat diri.

Jelang masa depan, sihir biang agung mendesain monster kesempurnaan agar tidurnya nyenyak. Diri meraih surganya dengan terseok-seok. Penuh esoteris memilukan yang dikupas sampai ajal menjemput. Selamat setelah kematian menjadi pedagoginya untuk bertemu jiwa suci, yakni meruntuhkan tembok ego.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun