Dalam pengasingannya itu, kerja mengobati dirinya sendiri. Komitmen dibangun, integritas dijunjung, tegur sapa, dan saling balas membantu dihangatkan. Tak pelak kemudian, diri menjadi akrab, tunduk pada ketaatan dan kedisiplinan. Teriakan dan lolongan yang dulu keras kini terdengar sanyup-sanyup.
Dalam waktu singkat, diri menguasai pengetahuan, keterampilan, dan teknologi. Kebajikan dan kebatilan diselaraskan. Targetnya menumbangkan kekuasaan lama yang kropos dan memindahkannya dari tangan kelas yang kalah ke tangan kelas yang menang.
Tak lama kemudian, dunia yang dulu bulat kini kian mendatar. Tatanan berubah. Yang cepat dipastikan mengalahkan yang lambat. Menerima adalah takdir. Terpuruknya rezim manual ke digital membuat kenikmatan berumur pendek. Taktala wabah melanda, takaran kepantasan terus diburu.
Obsesi terakhirnya adalah menalarkan iman dan mengimankan nalar dengan merindukan, mendengar, mengikuti, meyakini, bertanya, dan melakoni hakekat diri.
Jelang masa depan, sihir biang agung mendesain monster kesempurnaan agar tidurnya nyenyak. Diri meraih surganya dengan terseok-seok. Penuh esoteris memilukan yang dikupas sampai ajal menjemput. Selamat setelah kematian menjadi pedagoginya untuk bertemu jiwa suci, yakni meruntuhkan tembok ego.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H