Mohon tunggu...
Dhany Wahab
Dhany Wahab Mohon Tunggu... Penulis - Lembaga Kajian Komunikasi Sosial dan Demokrasi [LKKSD]

IG/threads @dhany_wahab Twitter @dhanywh FB @dhany wahab Tiktok @dhanywahab

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Daulat Pemilih di Bilik Suara

24 Juni 2020   12:30 Diperbarui: 11 Oktober 2023   19:38 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi politik uang. (sumber: KOMPAS)

Pemilihan Umun serentak akan berlangsung pada 14 Februari 2024. Setiap warga negara yang berhak memilih akan menentukan sosok presiden dan wakil presiden serta wakil rakyat di wilayahnya untuk masa lima tahun ke depan. 

Setiap menjelang pemilu bayang-bayang politik uang masih menjadi momok yang mencemaskan dalam praktik demokrasi di negeri ini.

Para kandidat mulai menyusun strategi dan menebar pesona untuk menarik dukungan rakyat sebanyak-banyaknya. 

Beragam cara dilakukan, mulai dari pasang alat peraga kampanye, blusukan, memberi bantuan sosial serta memoles citra melalui media massa dan media sosial.

Isu yang santer terdengar setiap menjelang pemilu dan pilkada adalah merebaknya praktik politik uang (money politic). 

Modus pemberian uang atau barang kepada pemilih oleh kandidat atau tim sukses supaya mencoblos surat suara sesuai yang dikehendaki.

Sejumlah pihak menyakini politik uang ibarat virus kanker yang menggerogoti demokrasi jika tidak segera diamputasi. 

Sistem pemilu proporsional daftar terbuka yang diterapkan saat ini semakin menyuburkan praktik politik uang ditengah masyarakat.

Persaingan yang terjadi bukan lagi sekedar antar parpol peserta pemilu, tetapi kompetisi berlangsung antar caleg dalam satu parpol yang berlaga di daerah pemilihan yang sama. 

Biaya pencalonan menjadi sangat tinggi dan ujungnya memicu praktik korupsi yang semakin marak.

Contoh politik uang ditengah masyarakat cukup beragam, seperti pembuatan kartu tabungan, voucher gratis, pembagian kartu asuransi, paket sembako, token listrik, pulsa handphone, menjanjikan pekerjaan hingga pemberian uang kontan.

Adakah praktik politik uang bisa dihilangkan dalam setiap gelaran pemilu atau pilkada?

Regulasi yang mengatur tentang pemilu dan pilkada secara tegas melarang praktik money politic. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 523 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan. Sementara UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, khususnya Pasal 187A ayat (1) terkait politik uang.

Tribunnews.com
Tribunnews.com
Meskipun aturan secara tegas dan jelas melarang praktik politik uang tapi realitanya masyarakat sudah permisif dengan kondisi tersebut. Beragam alasan menjadi tempat bersemainya benih politik uang yaitu faktor ekonomi atau kemiskinan, budaya dan kebiasaan serta rendahnya kesadaran politik warga masyarakat.

Pengamat Politik UGM, Mada Sukmajati menyebut politik uang bisa dilawan dengan solusi jangka panjang maupun jangka pendek. 

Solusi jangka panjang yang dimaksud seperti strategi budaya atau memasukkan materi politik uang ke sub materi antikorupsi dalam kurikulum sekolah.

Solusi jangka pendek mengatasi politik uang antara lain; Bawaslu aktif mengawasi pemilu, pemilih juga bersikap partisipatif selama proses pemilu berlangsung, sesama peserta pemilu juga dapat saling mengawasi, termasuk saling mengawasi antar peserta pemilu dari partai yang sama.

Politik uang tak jauh beda dengan praktik suap dan korupsi. Ibarat kentut, tak terlihat mata tapi terasa baunya.

Untuk itu perlu ditanamkan pemahaman kepada masyarakat bahwa politik uang adalah bentuk godaan atau jebakan setan dalam praktik demokrasi elektoral yang harus dijauhi.

Allah SWT menciptakan setan untuk menguji manusia, apakah imannya kuat menolak ajakan dan godaan kemaksiatan? 

Karenanya kita diberi kemampuan dan sarana oleh Allah untuk menjauhi berbagai macam bentuk kejahatan agar kita mampu meningkatkan derajat sebagai insan mulia.

Pendidikan pemilih perlu dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa satu suara sangat penting dan berarti. 

Lima menit di bilik suara sangat penting untuk menentukan masa depan bangsa, maka kita menentukan pilihan bukan karena pengaruh uang semata.

Apapun yang menggoda kita, seharusnya pada saat mencoblos kita mampu menentukan pilihan dengan pertimbangan yang matang dan rasional.

Jika kita merujuk kepada asas penyelenggaraan pemilihan umum, maka permasalahan politik uang pada akhirnya berpulang kepada pemilih sebagai pemilik kedaulatan. 

Asas langsung, rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara; Asas umum, semua warga negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan undang-undang ini berhak mengikuti Pemilu. 

Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial;

Asas bebas, setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya;

Asas rahasia, pemilih yang memberikan suaranya dalam pemilihan umum telah dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apa pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa pun suaranya diberikan;

Empat asas dasar pemilu tersebut menegaskan bahwa kedaulatan rakyat sepenuhnya dimiliki oleh setiap pemilih. Setiap warga yang mempunyai hak pilih memperoleh jaminan untuk menggunakan hak suaranya di bilik suara dengan penuh kerahasiaan dan tanpa tekanan atau paksaan dari pihak manapun.

Komisioner KPU RI, Dr Idham Holik berpandangan dalam kontek politik uang atau politik transaksional dapat diibaratkan seperti logika sirkular (circular reasoning) ‘telur dan ayam’. 

Siapa yang terlebih dahulu ada atau memulai. Apakah kandidat yang mempersuasi pemilih agar bertindak transaksional atau yang dikenal dengan istilah politik uang atau vote buying? 

Atau, apakah pemilih yang berpikiran pragmatis sehingga menuntut imbalan ketika dukungan elektoral atau suara diberikan kepada seorang kandidat (vote selling).

Menurut hemat saya, praktik politik uang dapat dicegah dengan melakukan pendidikan politik kepada masyarakat pemilih secara berkelanjutan. 

Pemilih yang cerdas dan sadar akan mempunyai imunitas yang kuat dari serangan dan godaan politik uang. Sebab, para kandidat tentu akan menggunakan segala daya upaya (baik secara terang-terangan maupun tersembunyi) untuk meraih suara rakyat.

Harapan untuk mewujudkan demokrasi elektoral tanpa politik uang masih terbuka lebar bagi generasi muda dan semua warga yang menghendaki perubahan untuk demokrasi lebih baik (better democracy).

Terlepas dari siapa dan apa yang mempengaruhi, pada akhirnya pilihan kandidat yang dicoblos saat di bilik suara adalah otoritas kedaulatan pemilih sepenuhnya. Hanya nurani pemilih dan Tuhan yang tahu.**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun