Mungkin ada yang pernah denger ujaran "dia dewasa banget orangnya", atau "ah dia emang gitu, agak kekanak-kanakan"?
Pada dasarnya semua orang melewati proses namanya pendewasaan. Ada yang umur 40an tapi masih di tahap awal masa pendewasaan. Ada juga yang umurnya masih awal 20an tapi pemikirannya sudah sangat dewasa. Menurut penulis, proses pendewasaan manusia bisa dikategorikan dalam 4 fase:
1. Fase tiru-tiru
Di fase yang didominasi anak kecil dan remaja ini, kita meniru apa yang dilakukan orang sekitar. Meminjam istilah Artificial Intelligence, kita belajar dengan metode reinforcement learning.
Kalau yang kita lakukan dianggap benar oleh orang-orang, kita akan dapat reward. Bisa berupa pujian, hadiah, like di Facebook, senyuman, atau makin banyak teman. Kalau salah, kita akan dapat hukuman, cacian, dimarahi, dijauhi, atau bahkan harus keluar duit banyak. Dan hal ini dianggap masih sangat penting buat kita-kita yang ada di tahap ini.
Kita akan selalu bergantung sama reaksi orang lain. Definisi bahagia buat kita adalah saat lingkungan setuju atau bereaksi positif atas perbuatan kita. Hidup kita akan selalu mencari restu lingkungan, guru, dosen, teman, atau orang tua. Kita akan selalu memvalidasi setiap perbuatan kita, apakah sesuai dengan norma setempat atau nggak. Kita selalu pengen dicap sebagai orang baik, anteng, dan penurut.
Biasanya fase ini berakhir di usia 18 atau maksimal 20. Tapi di Indonesia banyak yang masih bergumul di tahap ini bahkan sampai umur 30an atau 40an, atau sampai pensiun. Dan begitu sadar, kita menyesal di kemudian hari.
Beberapa dari kita bertahan cukup lama di fase ini, padahal udah tua, soalnya lingkungan nggak mendorongnya, atau bahkan menghukum kalau kita mau mandiri dikit aja. Kita yang di level ini cuman ngira mandiri itu artinya bisa mandi sendiri, bisa apa-apa sendiri, padahal bukan cuman itu.
Kata-kata kayak "makanya dibilangi orang tua harus nurut" sangat melekat di pikiran orang di fase ini. Nggak jarang metode gaslighting diterapkan orang-orang tua atau lingkungan sekitar untuk mengarahkan kita kembali ke "jalan yang benar" menurut adat setempat.
Kita di fase ini jadi makhluk sanguinis. Kita takut dianggap beda dan menyimpang, sehingga berusaha keras mengikuti aturan setempat. Tapi seberapapun usaha kita menyatu dengan lingkungan, itu nggak akan pernah cukup. Kita akan setiap saat belajar hal baru tentang aturan dalam bermasyarakat. Soalnya lingkungan selalu punya standar dan ekspektasi.
2. Fase mencari jati diri
Kita udah bukan lagi mencoba adaptasi sama lingkungan. Tapi kita mencari tahu apa yang bikin kita beda dengan orang sekitar. Kita selalu coba-coba hal baru. Kita nyari tau sendiri sampai mana batas maksimum kita. Semakin muda kita melakukannya, akan semakin baik.
Fase ini bisa dimulai dengan misalnya merantau di tempat yang jauh dari rumah ortu. Atau traveling ke puluhan negara. Atau mencoba menerapkan ilmu Robert Kiyosaki secara sepenuhnya, yaitu keluar dari kerjaan untuk mulai bisnis. Tiap orang beda-beda. Atau keliling dunia ketemu macam-macam orang dengan budaya yang beda dibanding lingkungan kita atau negara kita.
Kali ini kita nggak lagi beradaptasi sama budaya baru, tapi bisa mulai menyaring mana yang kita mau terapkan, mana yang nggak. Fase ini biasanya dilewati dengan otomatis oleh orang yang sekolah ke luar negeri lalu ngekos di umur awal 20an. Ada yang berhasil, ada yang nggak.
Di fase ini kita juga mulai belajar, apa aja yang enaknya sesaat, tapi kok efeknya makin gak baik. Misalnya begadang di hari kerja dan main game nggak kenal waktu.
Fase ini berakhir dengan kita mulai sadar kalau kita harus stop mengejar mimpi yang kita nggak jago-jago amat. Dan move on. Di akhir fase ini kita akan mulai sadar kalau hidup cuman sebentar, nggak semua mimpi atau cita-cita bisa jadi kenyataan. Dan kita sadar kalau kita harus fokus ke bidang yang kita jago dan menghasilkan kestabilan ekonomi misalnya. Dan kita udah nggak penasaran lagi ngejar mimpi soalnya kita udah ngejalanin sampai ngelewatin batas kita. Dan ternyata kita suck at it.
Di akhir fase ini kita sadar bahwa cuman gara-gara kita bisa, bukan berarti kita harus ngelakuin itu. Begitu juga dalam pertemanan, cuman gara-gara kita suka sama orang-orang tertentu, bukan berarti kita harus bareng mereka terus.
Tapi ada juga orang yang macet di fase ini meskipun udah nikah, bahkan udah jadi kakek-nenek. Tentunya kita nyesel kalau sadar bahwa sebenernya ada tahap setelahnya, tapi umur kita udah mau habis. Kita yang macet di tahap ini ada 2 tipe.
Tipe pertama, kita takut coba-coba, soalnya takut gagal. Jadi kita takut melampaui limit kita. Tipe kedua, kita nggak percaya kalau limit itu ada. Kita ngerasa semua hal pasti bisa kita diatasi. Kita ngerasa belajar dan berkembang itu seumur hidup. Kita ngerasa selalu bisa melakukan yang lebih baik, menghasilkan lebih banyak, nggak pernah cukup. Hal baru pasti selalu menarik dan harus dicoba. Aktualisasi diri nggak akan pernah berhenti dan kita nggak akan pernah fokus berkomitmen pada hal-hal yang kita jago. Sehingga kita macet di fase ini.
Orang yang masih di fase ini di usia 30an atau 40an bisa dibilang menderita penyakit Peter Pan Syndrome. Kita ngerasa jiwa muda akan selalu ada dan mencari jati diri itu seumur hidup. Tapi pada akhirnya kita nggak nemu apa-apa. Kita nggak berhasil menemukan jati diri dan kita macet di fase ini.
Tabungannya udah cukup dari jadi sales, trus dia resign, merantau ke kota mengejar mimpinya jadi aktor teater. Dia tampil sukses di panggung perdananya. Lama-lama dia ngerasa nggak sreg di dunia teater. Di usia 24 dia pengangguran, miskin, dan tuna wisma.
Dia mulai introspeksi. Dia ingat kalau pas SMA dulu dia jago banget public speaking tanpa usaha terlalu banyak. Dia mulailah mengajar public speaking. Di kelas pertamanya, di pertemuan pertama, mendadak dia kehabisan materi sebelum waktu habis. Putar otak, akhirnya dia punya ide menyuruh muridnya melakukan impromptu speech. Dan di situ dia menemukan metode baru public speaking. Dia nemu zona nyamannya. Dia sekarang terkenal sebagai penulis buku-buku bestseller tentang public speaking dan self-help.
3. Fase berkomitmen
Kita udah masa bodo dengan hal yang kita nggak jago. Kita udah nggak perduli lagi sama cita-cita yang nggak bakal terwujud dalam waktu dekat. Kita mulai meninggalkan hobi dan kegiatan yang buang-buang waktu. Biasanya kita mulai fase ini di umur menjelang 30an.
Kita mulai berani ninggalin temen yang racun dan nggak ada untungnya, malah menguras energi, pikiran dan bikin stres. Kita mulai fokus ke temen dan orang-orang terdekat yang nggak racun, yang bikin kita nambah ilmu, yang menjadikan kita lebih positif. Mungkin kita tetap menjaga hubungan dengan orang yang sempat racun, tapi kita nggak akan naruh energi disitu.
Fase ini berakhir dengan kita ngerasa udah nggak ada lagi yang bisa kita capai. Kita udah ngerasa tua dan capek. Mending tidur di rumah, main solitaire atau nonton netflix, atau bikin minuman favorit, terus diminum sambil menikmati pemandangan matahari tenggelam. Biasanya fase ini berakhir menjelang pensiun, tapi bisa juga dialami sebelum umur itu.
4. Fase mewariskan ilmu
Kita udah jadi mentor dan dijadikan teladan sama banyak orang. Kita udah selesai mendapatkan apa yang udah kita usahakan. Kita sadar udah nggak ada energi untuk lanjut di fase komitmen. Disinilah fase 4 dimulai, yaitu mewariskan ilmu ke generasi berikutnya.
Kita pengen ilmu kita dipelajari oleh para pemula. Mungkin dengan ngasih motivasi panjang lebar, biar para junior nggak salah langkah. Kita ngerasa harus membagikan semua ilmunya sebelum kita pikun atau meninggal. Mungkin beberapa anak muda yang masih di fase 2 nggak ada yang mau dengerin kita. Kalau kurang puas untuk mewariskan ilmu, orang fase 4 bisa juga menulis buku sebagai salah satu hobinya.
Tahap ini sangat penting secara psikologis terutama untuk kita yang udah pensiun, soalnya ini membuat kita udah cukup berguna untuk banyak orang dan udah selesai.
Tapi ada juga orang yang nggak move on ke fase 4. Nama penyakitnya adalah post power syndrome. Kita nggak tahu gimana cara merelakan ambisi. Kita udah pensiun tapi masih maksa pengen kerja. Kita selalu pengen melakukan lebih. Kita ngerasa belum selesai mencapai visi kita tapi kok udah pensiun.Â
Penutup
Ada orang yang baru menginjak fase pencarian jati diri, tapi karena tekanan sosial dia harus segera loncat ke fase berkomitmen. Akibatnya, pas dia baru punya balita atau udah punya pekerjaan tetap, dia malah pengen merantau traveling keliling dunia, mencari jati diri. Pengen turun level.
Atau ada juga orang yang nggak dewasa-dewasa, selalu mencoba menjadi anak manis dan penurut sesuai yang didefinisikan orang tuanya atau adatnya. Nggak sempat mengeksplorasi dunia tiba-tiba umurnya udah berapa.
Maka hargailah dan nikmatilah setiap fase dalam proses pendewasaan. Jangan terlalu buru-buru pengen naik fase, tapi juga jangan kelamaan di satu fase.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H