Pasti ada cara untuk menyelesaikan semua masalah. Cinta bakal menyelesaikan semuanya. Mereka mengira cinta menyelesaikan permasalahan. Tapi pertengkaran berulang lagi dan lagi. Kata-kata pas cekcok makin kasar.Â
Komunikasi mereka nggak efektif. Telepon mesra berjam-jam, katanya "itu rasa cinta kamilah yang ngobrol", tapi sebenarnya nggak banyak yang mereka obrolkan. Dan mereka sudah bertahan 3 tahun seperti itu. Tapi pada akhirnya mereka putus, dan putusnya ugly banget.
Abdul yakin PDKT dan pacaran setelah menikah itu lebih indah. Toh kata murabbinya (=comblang) orangnya baik dan saleha, agamanya baik, orang tuanya jelas, sayang sama keluarga, dan nikahnya direstui kedua pihak.
Eh nggak tahunya, setelah nikah istrinya minta share semua passwordnya, mulai HP, Facebook, Instagram, sampai email. Kadang Samira juga maksa ikut nemenin Abdul pas Abdul dinas, biar suaminya nggak lirak-lirik cewek lain.Â
Abdul jadi di bawah pengawasan Samira 24/7. Samira yang dasarnya kengangguran, jauh lebih tahu kabar mantan-mantan Abdul daripada Abdul sendiri, soalnya Abdul udah malas juga perduli sama mantannya. Samira nggak punya trust ke Abdul, dan Abdul diam-diam juga kehilangan trust sama dirinya sendiri untuk melakukan apa-apa. Dan itu semua Abdul lakukan demi cinta.
Terus Apa Lagi Selain Cinta?
Masih banyak hal lain yang lebih penting, lebih sulit, lebih fundamental dalam mencari "the one", ketimbang cinta aja. Misal di kasus 1 dan 2, rasa cinta yang kuat itu ada di kedua lovebirds. Tapi si cowok nggak ada yang namanya respek dan rasa rendah hati.
Dan tentu respek itu lebih penting daripada sekedar cinta kan? Khusus kasus kedua, si cowok kurang ada komitmen, meskipun cinta itu ada banget. Kemampuan berkomitmen itu penting juga.
Di kasus 3, mereka cuman punya cinta dan nggak punya pondasi yang stabil untuk berkomunikasi dengan orang. Nggak punya pengendalian emosi. Perasaan cinta digas pol. Marahan juga gas pol.Â