Mohon tunggu...
Dhani Wahyu Maulana
Dhani Wahyu Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Cukup Aku Dan Rabb-ku Yang Tahu

Aqidah and Islamic Philosophy Student at Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

"Pemujaan Berlebihan Tidak Sehat" (Penutup)

22 Agustus 2022   07:30 Diperbarui: 22 Agustus 2022   07:31 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puja Kerang Ajaib (Kalikata.id)

Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakaatuh

Saya sarankan kepada sobat Renaisans untuk membaca artikel-artikel sebelumnya terkait "Pemujaan Berlebihan Tidak Sehat" guna menghindari kesalahpahaman antara penulis dengan pembaca, terlebih artiker yang satu ini telah mencapai ujung kata atau penutup dari artikel-artikel PBTS sebelumnya.

Berikut tautan artikel yang lampau:

Pemujaan Berlebihan...(Kata Pengantar)

Pemujaan Berlebihan...(BAB I: Pemujaan Golongan)

Pemujaan Berlebihan...(BAB II: Pemujaan Tokoh)

Pemujaan Berlebihan...(BAB III: Pemujaan Gelar)

Pemujaan Berlebihan...(BAB IV: Pemujaan Nasab)

Sebagaimana dalam kata pengantar bahwa topik ini terinspirasi dari ucapan Patrick si Bintang Laut di serial kartun Spongebob Squerpants. Di salah satu episode, Spongebob begitu memuja tokoh dari kalangan club penangkap ubur-ubur yang bernama Kevin. Hingga dia terperdaya oleh tes masuk keanggotaan yang Kevin dan rekan-rekannya.

Namun akhirnya Spongebob telah menyelesaikan "permainan" mereka dan menyadari hal terpenting bahwa yang ia cintai bukanlah perkara Kevin, melainkan tentang ubur-ubur. Dan ketika dia kembali menemui sahabatnya, Patrick, si Bintang Laut itu senang bahwa Spongebob telah belajar sesuatu, kemudian ia berkata,

"Aku senang kau belajar. Pemujaan berlebihan tidak sehat."

Nah, dari scene itu lah penulis terdorong untuk menulis 6 artikel (termasuk ini) perihal pemujaan berlebihan yang secara sadar atau tidak sadar telah mendarahdaging atau bahkan dianggap hal yang lumrah bahkan kewajiban oleh sebagian besar orang.

Tak hanya itu, alasan penulis mengangkat topik ini juga dikarenakan oleh suatu keresahan. Indonesia yang seharusnya merawat "Bhineka Tunggal Ika" menjadi "Partaiku lebih baik dari partainya". Umat Islam yang seharusnya Ahlu al-Sunnah wa al-Jama'ah menjadi teradu domba terpecah belah.

Sedikit catatan, bahwa Ahlu al-Sunnah wa al-Jama'ah yang penulis maksud bukanlah sebagai simbolis dari suatu organisasi, politik islam, maupun sebuah aliran kalam. Namun, merujuk kembali asal makna Ahlu al-Sunnah sebagai umat yang bersyari'at sesuai dengan ajaran nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Dan wa al-Jama'ah sebagai umat yang meskipun memiliki organisasi pergerakan yang berbeda-beda namun tetap satu jua.

Tak peduli ia dari suku apa, ras mana, partai apa, bermadzhab yang bagaimana, apabila ia bersyahadat, bersyari'at sesuai dengan ajaran nabi Muhammad Shalla Allahu 'Alaihi wa Sallam, maka kita wajib menganggapnya sebagai saudara seiman dan seaqidah.

Hingga Alhamdulillah penulis telah merampungkan keenam artikel ini yang didalamnya membahas tentang pemujaan golongan, pemujaan tokoh, pemujaan gelar, pemujaan nasab, disertai dengan solusi pada akhir tiap artikel.

1. Pemujaan Berlebihan Tidak Sehat (BAB I: Pemujaan Golongan)

Penulis berpesan bahwa hendaknya berdakwah dengan tidak merendahkan golongan lain, tidak mengekang akal dan nurani jamaah, dan biarlah para jamaah menapaki jalan yang ia inginkan dengan damai dan tentram.

Para da'i berkewajiban untuk mengajak, namun tidak dianjurkan untuk memaksa lagi merendahkan. Pada titik itu lah terjadi transformasi pendidikan yang dibarengi dengan transformasi sosial yang mengarahkan manusia, khususnya umat islam, untuk menjadi insan yang cerdas, kritis, dan tidak hanya Ahlu al-Sunnah tapi juga berjamaah

2. Pemujaan Berlebihan Tidak Sehat (BAB II: Pemujaan Tokoh)

alangkah baiknya, kita saling bertabayun, mengenal pola pikir satu sama lain, dan tidak berlebih-lebih memuja seorang tokoh agar tidak menimbulkan pertengakaran, perdebatan, saling menyalahkan, dan menciptakan rantai kebencian oleh sebab tokoh yang dipuja telah bertitah sesuatu yang tidak seharusnya keluar dari ucapan atau tindakan public figure.


"Perhatikanlah apa yang dikatakan, jangan memperhatikan siapa yang berkata."

3. Pemujaan Berlebihan Tidak Sehat (BAB III: Pemujaan Gelar)

Perihal "gelar", hendaknya kita menghormati seseorang bukan karena gelar yang ia sandang. Melainkan karena ia kita akui memiliki amanah terhadap gelar ataupun kedudukannya. Karena "orang yang hebat bukan karena merasa dirinya hebat, tapi karena kehebatannya diakui oleh orang lain."

Dengan demikian, tidak akan ada anggapan bahwa orang yang memiliki gelar itu tak pernah berbuat kesalahan. Dan apabila ditampakkan kesalahan yang bertolakbelakang dengan gelarnya, maka hati kita tidak akan terlalu kecewa atau bahkan membela kesalahannya disebabkan oleh gelar yang disandang olehnya.

4. Pemujaan Berlebihan Tidak Sehat (BAB IV: Pemujaan Nasab)

Terakhir tentang "nasab", saya tegaskan bahwa kehormatan itu tidak diwariskan. Sehingga penulis menghormati seseorang berdasarkan ketawqwaannya. Penulis sendiri mengukur standar ketaqwaan seseorang adalah jika tindak-tanduk orang tersebut tidak bertentangan dengan apa yang termaktub dalam kitab sucinya, tidak bertentangan degan nilai-nilai agama, nilai-nilai pancasila, nilai-nilai adab lokal setempat, dan lain sebagainya. Siapapun itu, tak peduli dari agama apapun, dari aliran kalam manapun, partai apapun, keturunan siapapun.

Itulah kesimpulan singkat dari empat bab inti dari topik ini. Penulis berharap sobat Renaisans bisa mencerna betul sehingga tidak terjadi adanya miskomunikasi. Pun jikalau terdapat pertanyaan atau sanggahan segala macam bisa diungkapkan di kolom komentar.

Wa Allah A'lam bi al-Shawaab

Wassalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakaatuh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun