Assalamu'alaikum, Sobat Renaissans.
Setelah membahas tentang pemujaan golongan dan tokoh, kini penulis ingin mengulas tentang tentang “Pemujaan Gelar”.
Jika anda telah membaca artikel sebelumnya, yaitu:
"PEMUJAAN BERLEBIHAN TIDAK SEHAT" (KATA PENGANTAR)
"PEMUJAAN BERLEBIHAN TIDAK SEHAT" (BAB I: PEMUJAAN GOLONGAN)
"PEMUJAAN BERLEBIHAN TIDAK SEHAT" (BAB II: PEMUJAAN TOKOH)
Maka, mungkin alam bawah sadar pembaca akan mengarah kepada bagaimana cara menghormati seseorang dengan ataupun tidak memandang gelar yang ia sandang dengan baik dan benar. Ingat! Baik dan benar. Bukan pemujaan yang berlebihan.
Karyawan yang menghormati bosnya, santri yang menghormati kyainya, rakyat yang menghormati pemimpinnya, ksatria yang menghormati rajanya, bukanlah sebuah pemujaan berlebih melainkan ekspresi dari rasa hormat seseorang atau bahkan kewajiban yang secara tidak langsung berada di bawah orang yang secara sah kedudukannya lebih tinggi sesuai dengan ruang lingkupnya.
Akan tetapi, yang menjadi masalahnya ialah ketika pemujaan yang ia lakukan adalah secara berlebihan entah dalam rangka takut, cinta, ataupun penghasutan.
Saya ingin memberi contoh yang tidak sensitif. Misal, seorang karyawan haruslah menghormati bosnya. Karena si bos memiliki wewenang tertinggi dan tanggung jawab yang besar dalam menghidupi perusahaan beserta seluruh karyawannya.
Namun, apabila bos tersebut tindak melakukan kewajibannya dengan baik, tidak memberikan hak yang pantas bagi karyawan-karyawannya, maka para karyawan tidak bisa berdiam di kondisi yang demikian. Penghormatan karyawan kepada bos menjadi hangus apabila terjadi demikian, dan mereka memiliki hak untuk menuntut keadilan.
Apakah dengan begitu para karyawan boleh melakukan tindak kekerasan kepada si bos? Tentu tidak. Tindakan para karyawan dalam penuntutan juga harus dilewati dengan etika yang benar.
Saya beri contoh lagi, tapi agak sensitif.
Kita mengenal adanya gelar atau julukan seperti: Ustadz, Syaikh, Hafidz, Ulama, Habib/Sayyid, Gus, Haji, dan lain sebagainya. Namun tak jarang dengan gelar tersebut, beberapa dari kalangan umat yang terlalu mengagungkan atau memiliki persepsi yang melenceng.
Apakah dengan bergelar atau disebut demikian merupakan tanda mutlak dari kebenaran dan kehebatan? Tentu saja tidak, yang membedakan seorang muslim dengan muslim lain di hadapan Allah adalah taqwanya. Dan seorang muslim tidak mengetahui tingkat ketaqwaan orang lain bahkan dirinya sendiri.
Apakah penulis mengajak untuk tidak menghormati yang demikian? Bukan begitu baraya. Sebagaimana pada permisalan antara bos dan karyawan tadi, masing-masing memiliki hak dan kewajiban. Dan salah satu kewajiban orang yang memiliki kedudukan di bawah adalah menghormati orang yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dengan sewajarnya.
Bahkan sejatinya, mereka yang mendapatkan pengakuan gelar atau julukan dari masyarakat setempat memiliki tanggung jawab yang berat dalam mengemban amanah dan menjaga marwah (kehormatan). Dan ketika mereka yang memiliki gelar tadi berbuat salah, alangkah baiknya kita untuk tidak mengatakan, “Padahal dia seorang Ulama (misalnya), tapi kok kaya gitu.”
Itu menandakan bahwa kita masih memandang sebuah gelar dengan artian yang memiliki gelar tersebut pastilah selalu berbuat baik dan benar serta luput dari kesalahan. Kecuali mereka yang yang ingin dihormati orang lain dengan gelar yang ia sandang, maka mereka sejatinya tak pantas menerima gelar tersebut.
Karena, “Manusia menjadi hebat bukanlah karena dia memiliki kekuatan yang hebat, melainkan karena dia diakui bahwa dia adalah orang yang hebat.”
Saya yakin para pembaca pernah mendengar cerita ketika Rasulullah Shalla Allahu ‘Alaihi wa Sallama wafat. Kala itu mulanya Umar bin Khattab tidak percaya dengan kabar wafatnya sang Rasul. Bahkan ia hendak mengacungkan pedangnya kepada orang yang berkata demikian.
Akan tetapi Abu Bakr Ash-Shiddiq menenangkannya dan berkata kepada seluruh kaum muslimin di sekitarnya, “Saudara-saudaraku sekalian, barangsiapa menyembah Muhammad, maka Muhammad sudah meninggal. Tetapi siapa saja yang menyembah Allah, maka Allah selalu hidup dan tak akan pernah mati.”
Kemudian beliau melanjutkannya dengan membacakan Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat ke-144:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا ۗ وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ
Artinya: Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
Maka Umar bin Khattab lemas seketika dan menyadari kesalahannya. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Hadist Ibn Abbas.
Dan pada akhir tulisan pada bab ini, penulis ingin memberikan solusi yang mungkin belum pasti keberhasilannya namun penulis telah dan sedang merasakan manfaat dari solusi ini. Bahwa:
“Kita menghormati seseorang bukan karena gelar yang ia sandang. Melainkan karena ia kita akui memiliki amanah terhadap gelar ataupun kedudukannya.”
Dengan demikian, tidak aka nada anggapan bahwa orang yang memiliki gelar itu tak pernah berbuat kesalahan. Dan apabila ditampakkan kesalahan yang bertolakbelakang dengan gelarnya, maka hati kita tidak akan terlalu kecewa atau bahkan membela kesalahannya disebabkan oleh gelar yang disandang olehnya.
Wa Allahu A'lam bi al-Shawaab
Nuun Wa al-Qalami wa maa yasturuun.
Wassalaamu'alaikum wa Rahmatullahi wa Barakaatuhu
Baca juga artikel sebelumnya:
"PEMUJAAN BERLEBIHAN TIDAK SEHAT" (KATA PENGANTAR)
"PEMUJAAN BERLEBIHAN TIDAK SEHAT" (BAB I: PEMUJAAN GOLONGAN)
"PEMUJAAN BERLEBIHAN TIDAK SEHAT" (BAB II: PEMUJAAN TOKOH)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI