Akan tetapi Abu Bakr Ash-Shiddiq menenangkannya dan berkata kepada seluruh kaum muslimin di sekitarnya, “Saudara-saudaraku sekalian, barangsiapa menyembah Muhammad, maka Muhammad sudah meninggal. Tetapi siapa saja yang menyembah Allah, maka Allah selalu hidup dan tak akan pernah mati.”
Kemudian beliau melanjutkannya dengan membacakan Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat ke-144:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا ۗ وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ
Artinya: Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
Maka Umar bin Khattab lemas seketika dan menyadari kesalahannya. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Hadist Ibn Abbas.
Dan pada akhir tulisan pada bab ini, penulis ingin memberikan solusi yang mungkin belum pasti keberhasilannya namun penulis telah dan sedang merasakan manfaat dari solusi ini. Bahwa:
“Kita menghormati seseorang bukan karena gelar yang ia sandang. Melainkan karena ia kita akui memiliki amanah terhadap gelar ataupun kedudukannya.”
Dengan demikian, tidak aka nada anggapan bahwa orang yang memiliki gelar itu tak pernah berbuat kesalahan. Dan apabila ditampakkan kesalahan yang bertolakbelakang dengan gelarnya, maka hati kita tidak akan terlalu kecewa atau bahkan membela kesalahannya disebabkan oleh gelar yang disandang olehnya.
Wa Allahu A'lam bi al-Shawaab
Nuun Wa al-Qalami wa maa yasturuun.