مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَادِحًا أَخَاهُ لاَ مَحَالَةَ، فَلْيَقُلْ أَحْسِبُ فُلاَنًا، وَاللَّهُ حَسِيبُهُ، وَلاَ أُزَكِّي عَلَى اللَّهِ أَحَدًا أَحْسِبُهُ كَذَا وَكَذَا، إِنْ كَانَ يَعْلَمُ ذَلِكَ مِنْهُ
Artinya: “Siapa saja di antara kalian yang tidak boleh tidak harus memuji saudaranya, hendaklah dia mengucapkan, “Aku mengira si Fulan (itu demikian), dan Allah-lah yang lebih tahu secara pasti kenyataan sesungguhnya, dan aku tidak memberikan pujian ini secara pasti, aku mengira dia ini begini dan begitu keadaannya”, jika dia mengetahui dengan yakin tentang diri saudaranya itu (yang dipuji).” (HR. Bukhari no. 2662 dan Muslim no. 3000)
Kemudian, apabila tokoh yang ia puja berlebih tadi melakukan kesalahan, para jamaah yang fanatik terhadapnya akan terus membela kesalahan yang telah tokoh tersebut lakukan. Lebih-lebih jika tokoh tadi pernah merendahkan tokoh atau golongan lain, maka pendukung fanatik tokoh atau golongan yang direndahkan tadi menggunakan kesalahan yang telah dilakukan oleh tokoh pertama tadi sebagai serangan balik terhadapnya.
Dan hal tersebut akan memicu pertengakaran, perdebatan, saling menyalahkan, dan menciptakan rantai kebencian.
Sehingga alangkah baiknya, kita saling bertabayun, mengenal pola pikir satu sama lain, dan tidak berlebih-lebih memuja seorang tokoh. Sebagaimana dalam sebuah peribahasa arab:
أنظر ما قال ولا تنظر من قال
“Perhatikanlah apa yang dikatakan, jangan memperhatikan siapa yang berkata.”
Mungkin cukup sekian yang penulis ulas mengenai hal ini. Toh latar belakang masalah beserta solusi telah penulis uraikan di atas. Apabila terdapat kekurangan dan salah kata, saya memohon maaf sebesar-besarnya.
In syaa Allah subtema berikutnya ialah mengenai “Pemujaan berlebih terhadap gelar”.
Baca juga artikel sebelumnya:
"Pemujaan Berlebih Tidak Sehat" (Kata Pengantar)