Mohon tunggu...
Dhani Wahyu Maulana
Dhani Wahyu Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Cukup Aku Dan Rabb-ku Yang Tahu

Aqidah and Islamic Philosophy Student at Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

"Pemujaan Berlebihan Tidak Sehat" (Kata Pengantar)

27 Juli 2021   18:51 Diperbarui: 27 Juli 2021   19:14 1442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Channel YouTube "Kyoo"

Assalamu’alaikum, sobat Renaissans.

Segala puja dan puji syukur atas kehadirat Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa yang telah melimpahkan rahmat serta hidayahnya kepada kita. Sehingga kita tetap mampu merasakan nikmat islam, nikmat iman, nikmat kesehatan, hingga husnu al-khaatimah kelak. Aamiin.

Shalawat serta salam, semoga tetap tercurahkan kepada nabi Muhammad Shalla Allahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah membimbing umat manusia dari gelapnya kebodohan menuju terangnya lentera agama islam.

Sebagaimana yang dapat pembaca lihat dari gambar yang penulis sajikan di atas, judul ini terinspirasi dari ucapan Patrick si Bintang Laut di kartun serial anak Spongebob Squarepant. Meski demikian, konteks yang disajikan tetap relevan dengan permasalahan umat dewasa kini.

Sedikit disclaimer, dalam episode tersebut, Spongebob begitu memuja tokoh dari kalangan club penangkap ubur-ubur yang bernama Kevin. Hingga dia terperdaya oleh tes masuk keanggotaan yang Kevin dan rekan-rekannya teruntuk Spongebob.

Namun akhirnya Spongebob telah menyelesaikan “permainan” mereka dan menyadari hal terpenting bahwa yang ia cintai bukanlah perkara Kevin, melainkan tentang ubur-ubur. Dan ketika dia kembali menemui sahabatnya, Patrick, si Bintang Laut itu seketika senang bahwa Spongebob telah belajar sesuatu, kemudian ia berkata,

“Aku senang kau belajar. Pemujaan berlebihan tidak sehat.”

Oke, kembali ke topik. Penulis mengangkat topik ini karena bermula dari suatu keresahan. Indonesia yang seharusnya merawat “Bhineka Tunggal Ika” menjadi “golonganku lebih baik dari golongannya”. Umat Islam yang seharusnya Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah menjadi teradu domba terpecah belah.

Sedikit catatan, bahwa Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah yang penulis maksud bukanlah sebagai simbolis dari suatu organisasi, politik islam, maupun sebuah aliran kalam. Namun, merujuk kembali asal makna Ahlu al-Sunnah sebagai umat yang bersyari’at sesuai dengan ajaran nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan wa al-Jama’ah sebagai umat yang meskipun memiliki organisasi pergerakan yang berbeda-beda namun tetap satu jua.

Tak peduli ia dari suku apa, ras mana, partai apa, bermadzhab yang bagaimana, apabila ia bersyahadat, bersyari’at sesuai dengan ajaran nabi Muhammad Shalla Allahu ‘Alaihi wa Sallam, maka kita wajib menganggapnya sebagai saudara seiman dan seaqidah.

Nah, kemudian dalam proses pemersatuannya, umat islam lebih sering dihadapi dengan perdebatan golongan siapa yang sesuai dengan ajaran nabi. Sehingga tak jarang menimbulkan adu domba dan saling menyalahkan, apalagi hingga saling menjauhi atas dasar kebencian, lantas mengkafirkan.

Perlu diingat, yang penulis rujuk sebagai protagonis dan antagonis di sini bukanlah sebuah organisasi, aliran kalam, madzhab, atau semacamnya melainkan perindividu dari kalangan manapun itu.

Hal yang demikian terjadi salah satu faktor utamanya ialah adanya rasa ujub (berbangga-bangga) seseorang dengan kaumnya. Ia merasa bahwa golongannya lah yang paling baik, paling benar. Ia mengklaim bahwa apa yang diajarkan orang lain yang menurutnya berbeda adalah sebuah kesesatan.

Untuk mempertegas dan memperjelas pernyataan saya, yang diucap sebagai kesesatan adalah hampir dari semua kalangan. Tiap-tiap orang mengklaim sesat golongan lain. Diantara hal-hal yang paling sering disebut sesat (berdasarkan survei pribadi melaui konten-konten yang beredar di media sosial beserta komentar-komentarnya) ialah ilmu kalam, filsafat, tasawuf, wahabi, salafi, syi’ah, nahdlatul ulama, dan lan-lain.

Penulis sendiri tidak mampu dan tidak ingin mengklaim kebenaran maupun kesesatan dari yang telah penulis sebutkan di paragraf sebelumnya.

Mengapa terjadi demikian? Sekali lagi penulis katakan bahwa salah satu faktor yang mendasarinya adalah ujub pada golongan sendiri, penilaian secara generalisasi (maksudnya ialah melabeli sesat seluruh sampel yang padahal ia baru mengetahui sebagian dari keseluruhan sampel), minimnya pengetahuan, dan mencomot perkatan seorang tokoh pada karangan tokoh tersebut tanpa melihat karangan lain milik tokoh yang sama.

Maka dalam kelanjutan tema ini, penulis ingin menghidangkan subtema yang sekiranya menjadi problematika mendasar perihal pemujaan yang berlebihan, khususnya di kalangan terdekat kita. Antara lain pemujaan berlebihan terhadap golongan, tokoh, gelar, tempat tinggal, dan lain sebagainya.

Cukup sekian kata pengantar dari penulis, mohon dibaca dan dipahami dengan bijak. Apabila ada salah kata, penulis mohon maaf sebesar-besarnya. Apabila ada pertanyaan bisa disampaikan melalui kolom komentar.

Nuun. Wa al-Qalami wa maa yasturuun.

Wassalaamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuhu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun