Nah, kemudian dalam proses pemersatuannya, umat islam lebih sering dihadapi dengan perdebatan golongan siapa yang sesuai dengan ajaran nabi. Sehingga tak jarang menimbulkan adu domba dan saling menyalahkan, apalagi hingga saling menjauhi atas dasar kebencian, lantas mengkafirkan.
Perlu diingat, yang penulis rujuk sebagai protagonis dan antagonis di sini bukanlah sebuah organisasi, aliran kalam, madzhab, atau semacamnya melainkan perindividu dari kalangan manapun itu.
Hal yang demikian terjadi salah satu faktor utamanya ialah adanya rasa ujub (berbangga-bangga) seseorang dengan kaumnya. Ia merasa bahwa golongannya lah yang paling baik, paling benar. Ia mengklaim bahwa apa yang diajarkan orang lain yang menurutnya berbeda adalah sebuah kesesatan.
Untuk mempertegas dan memperjelas pernyataan saya, yang diucap sebagai kesesatan adalah hampir dari semua kalangan. Tiap-tiap orang mengklaim sesat golongan lain. Diantara hal-hal yang paling sering disebut sesat (berdasarkan survei pribadi melaui konten-konten yang beredar di media sosial beserta komentar-komentarnya) ialah ilmu kalam, filsafat, tasawuf, wahabi, salafi, syi’ah, nahdlatul ulama, dan lan-lain.
Penulis sendiri tidak mampu dan tidak ingin mengklaim kebenaran maupun kesesatan dari yang telah penulis sebutkan di paragraf sebelumnya.
Mengapa terjadi demikian? Sekali lagi penulis katakan bahwa salah satu faktor yang mendasarinya adalah ujub pada golongan sendiri, penilaian secara generalisasi (maksudnya ialah melabeli sesat seluruh sampel yang padahal ia baru mengetahui sebagian dari keseluruhan sampel), minimnya pengetahuan, dan mencomot perkatan seorang tokoh pada karangan tokoh tersebut tanpa melihat karangan lain milik tokoh yang sama.
Maka dalam kelanjutan tema ini, penulis ingin menghidangkan subtema yang sekiranya menjadi problematika mendasar perihal pemujaan yang berlebihan, khususnya di kalangan terdekat kita. Antara lain pemujaan berlebihan terhadap golongan, tokoh, gelar, tempat tinggal, dan lain sebagainya.
Cukup sekian kata pengantar dari penulis, mohon dibaca dan dipahami dengan bijak. Apabila ada salah kata, penulis mohon maaf sebesar-besarnya. Apabila ada pertanyaan bisa disampaikan melalui kolom komentar.
Nuun. Wa al-Qalami wa maa yasturuun.
Wassalaamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuhu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H