Pada apa kubariskan kecemasan musim, ketika rintik hujan belum juga berakhir, dan jalanan masih basah oleh cerita di masa silam. Engkaukah itu istanaku? tanyamu buatku tersipu
Ayolah berdamai dengan hujan, tak perlu terus berselisih malam. Sambil kupakai jaket beludrumu itu, gigil ini sudah berakhir. Berkat senyum gigi berginsul, kau selalu ingin di atas sampai terbaca apa yang terahasia di dada. Susungguhnya, adamu damai
Ingin kubangun untukmu rumah cinta di tengah sawah dan ladang kasih sayang kita, dianyam bambu setia. Seperti pohon pisang yang tidak pernah mati sebelum bertunas dan berbuah keabadian. Aku milikmu, lalu kau tepis ke tepi jalan
Bayangkan jika Masjid yang kita bangun dikelilingi kolam ikan yang gembira! Ucapnya sambil tertawa. Seperti biasa aku tak punya kata-kata, engkau mulai berkemas menjadi pengembara ke desa-desa yang jauh, sambil memandang foto kenangan yang begitu lekas berubah warna.
Tentang asap Lebaran yang kita hisap, hujan yang segera pulang, dan api yang tetap abadi, kita pasti kembali, ke pangkuan sunyi
Tiba-tiba kita ingat begitu banyak sengketa
pada hari raya yang selalu tertunda
seperti tahun lalu, di pekuburan itu
hari-hari yang lapar terus berdentang
menembus malam takbir bersahutan
disemogakan leluhur-leluhur silam
Marilah, kita saling maaf-memaafkan
04/06/2019
Minal Aidzin wal Faidzin
Mohon Maaf Lahir dan Bathin
Selamat pada Pemimpin
Rakyatnya Makmur Terjamin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H