Kebahagiaan adalah konsekuensi positif yang berpotensi menumbuhkan semangat dan mengembangkan motivasi kita. Apabila konsekuensi ini tercipta, maka diyakini, produktivitas dan kreativitas akan semakin terpacu dan meningkat. Namun sayangnya, inilah hal yang tak mampu diberikan sepenuhnya oleh media sosial kepada kita.
Meskipun PPKM bagai pil pahit dalam realitas kehidupan kita, tetapi harus diakui bahwa tak ada lagi pilihan lainnya. Sepahit apapun keadaan hidup saat ini, harus dihadapi sekuat tenaga. Apabila tidak, maka sama halnya kita menjerumuskan diri ke dalam kesia-siaan yang lazimnya diwujudkan dengan mengutuk keadaan, sedih berkepanjangan, dan marah tak tentu arah.
Melakukan semua kesia-sian itu tidak akan pernah mengubah fakta yang saat ini sedang terjadi. Oleh karena itu, mau tidak mau kita harus menyikapinya dengan kepala dingin terlebih dulu, agar kemudian kita dapat menentukan cara untuk menikmati keadaan ini.
Perlunya berkepala dingin
Saya tahu bahwa untuk menghadapi keadaan ini tidaklah mudah. Namun, yang hendak saya sampaikan di sini adalah mengawali semua itu dengan kepala dingin. Artinya, berikanlah waktu sejenak bagi pikiran kita untuk mengevaluasi "apakah melakukan kesia-sian ini adalah pilihan yang tepat?"Â
Pertanyaan itu bertujuan untuk mengembalikan kesadaran diri kita setelah terperosok ke dalam jurang keputusasaan. Persuasikan diri kita sekuat tenaga untuk mendaki tebing jurang hingga sampai ke bibirnya meskipun dengan kondisi tubuh terluka parah.
Seneca, seorang filsuf sekaligus penasihat Kaisar Romawi mengungkapkan bahwa, "Kita lebih sering menderita dalam imajinasi daripada dalam kenyataan". Ungkapan ini sejalan dengan realitas kehidupan kita saat ini.
Pada zaman sekarang, kita seringkali terjebak ke dalam perangkap derita yang dengan sengaja kita pasang sendiri. Jebakan ini akhirnya menyebabkan emosi kita mudah tersulut dengan berbagai kejadian yang sangat sepele, misalnya seperti istri yang biasanya membuatkan kopi sepulang kita bekerja, tetapi pada suatu ketika tidak membuatnya karena lupa.Â
Umumnya, dalam kondisi tersebut kita akan menggerutu sendiri, atau bahkan meluapkan kekesalan yang dirasakan dengan marah-marah. Padahal, ini adalah masalah sepele, yang sesungguhnya dapat kita selesaikan sendiri.
Ya, kita dapat membuat kopi itu sendiri! Namun, karena kebiasaan: istri selalu menyiapkan kopi sepulang kita bekerja, maka lambat laun pikiran kita menyerap kebiasaan itu sebagai pola yang dianggap relevan, sehingga melahirkan idealitas semu bagi kita.
Akhirnya, ketiadaan kopi dari istri sepulang bekerja mengusik idealitas tersebut. Sehingga, idealitas itu memberontak terhadap hal yang dianggap seharusnya terjadi, tetapi tidak terjadi pada saat itu.