Anak: memang istri ayah kemana?Â
Ayah: sudah pergi nak sejak ayah sakit sakitan.Â
Anak: ayah, aku sedang kerja, ayah kerumah sakit pakai taxi saja.Â
Ayah: kenapa kamu begitu? Siapa yg akan urus pendaftran di RS dan lain-lain? Apakah supir taxi? Kamu anak ayah, masa orangtua sakit kamu tidak mau bantu mengurus?Â
Anak: ayah, bukankah ayah yang mengajarkan aku, mengurus diri sendiri? Bukankah ayah yang mengajarkan aku bahwa pekerjaan lebih penting daripada istri sakit dan anak ?.
Ayah, aku masih ingat, satu pagi aku menelpon ayah minta antarkan ke sekolahku,waktu itu ibu sakit, ibu yang selalu antarakan kami anak-anaknya. Yang mengurus kami seorang diri, namun ayah katakan aku pergi jalan kaki, tubuhku lemah, sekolahku jauh, namun ayah katakan anak laki laki harus kuat, dan ayah katakan ayahpun dulu berjalan kaki kesekolah. Maka aku belajar.
Bahwa karena ayah lakukan demikian, maka akupun harus lakukan hal yang sama. Saat aku sakitpun hanya ibu yang ada mengurusku, saat aku membutuhkan ayah, aku ingat kata kata ayah, anak laki laki harus kuat.Â
Ayah tau...?. Hari itu pertama kali aku berbohong kepada ibu, aku katakan iya ayah yang akan antarkan aku kesekolah, dan meminta aku menunggu di depan gang.Â
Tapi ayah tau...?. Aku jalan kaki seperti yang ayah suruh, di tengah jalan ibu menyusul dengan sepeda, ibu bisa mengetahui kalau aku berbohong, dengan tubuh sakitnya ibu mengayuh sepeda mengantarkan aku kesekolah.Â
Ayah mengajarkan aku pekerjaan adalah yang utama, ayah mengajarkan aku kalau ayah saja bisa maka walau tubuhku yang lemah aku harus bisa. Kalau ayah bisa ajarkan itu, maka ayah pun harus bisa.Â
Si ayah terdiam..., sepi diseberang telepon. Baru disadarinya, betapa dalam luka yang di torehkan di hati anaknya.Â